Subhra Bhattacharjee, Direktur Jenderal FSC. Ist. |
Jakarta | June 28, 2025 — Sawit Asia: Pada sebuah forum strategis yang berlangsung di Jakarta belum lama ini, Petrus Gunarso, Ph.D., pakar kehutanan dan anggota Kamar Ekonomi Forest Stewardship Council (FSC), menyampaikan pandangan tajam mengenai arah baru pengelolaan hutan di Indonesia.
"Hutan tanaman di Indonesia—dari segi ekonomi—merupakan kerangka pemulihan bagi negara ini. Karena itu, jangan menunda penerapan Kerangka FSC di Indonesia hanya karena pertimbangan sosial dan lingkungan semata. Sebagai anggota FSC dari kamar ekonomi, saya menekankan bahwa alasan-alasan ekonomi juga perlu dipertimbangkan demi kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan di Indonesia."
Pernyataan itu ia tegaskan kembali dalam sebuah pertemuan terbatas di Arthotel, Senayan, Jakarta, yang membahas masa depan Remedy Framework FSC di Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Gunarso memaparkan hasil diskusinya dengan parlemen terkait lambannya pengembangan hutan tanaman dan kegagalan produksi dari konsesi hutan alam.
Fakta yang disampaikan menggugah kesadaran bersama: luas konsesi hutan alam Indonesia yang dahulu mencapai 64 juta hektare kini menyusut drastis menjadi sekitar 18 juta hektare saja, dengan produksi kayu yang menurun tajam hingga kurang dari 5 juta meter kubik per tahun. Sebaliknya, hutan tanaman industri (HTI) yang hanya mencakup 4 juta hektare justru mampu menghasilkan sekitar 50 juta meter kubik kayu per tahun, terutama untuk industri pulp dan kertas.
Kontras mencolok ini bukan sekadar soal statistik, melainkan cerminan dari kebijakan yang stagnan dan belum cukup berpihak pada keberlanjutan dan efisiensi. Di sinilah Gunarso menekankan pentingnya implementasi Remedy Framework secara menyeluruh, tidak hanya sebagai instrumen pemulihan sosial dan ekologis, tetapi juga sebagai strategi ekonomi nasional yang realistis dan berorientasi pada masa depan.
Kerangka Pemulihan yang Menjanjikan
Remedy Framework, yang diadopsi secara resmi oleh FSC pada 2023, merupakan mekanisme pemulihan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan yang sebelumnya terdiskualifikasi karena pelanggaran sosial dan lingkungan untuk menjalani proses penebusan penuh (full remedy). Proses ini mencakup pemulihan kawasan yang dirusak, pemberian kompensasi kepada komunitas terdampak, dan perbaikan hubungan sosial dengan masyarakat adat dan lokal.
Subhra Bhattacharjee, Direktur Jenderal FSC, menekankan bahwa Remedy Framework bukan hanya perangkat teknis, tetapi juga refleksi dari tanggung jawab moral dunia usaha:
"This framework is a way to acknowledge past harm, and move toward justice for communities and nature. Without remedy, there can be no integrity in certification."
Menempatkan Masyarakat sebagai Subjek: Lahirnya PETARU
Dalam konteks Indonesia, implementasi kerangka pemulihan ini membuka ruang refleksi yang lebih luas: siapa sebetulnya aktor utama dalam keberlanjutan hutan?
Selama ini, narasi kehutanan cenderung didominasi oleh perusahaan besar dan pendekatan teknokratis. Namun di balik semua itu, ada kelompok-kelompok masyarakat adat, petani pohon, dan pengelola hutan rakyat yang menjaga ekosistem secara turun-temurun.
Gunarso mengusulkan istilah baru yang mencerminkan peran strategis mereka: PETARU — Petani Tanaman Hutan.
PETARU bukan sekadar orang per orang yang menanam pohon untuk keuntungan ekonomi, melainkan penjaga lanskap yang mengelola hutan dengan pendekatan kultural, spiritual, dan ekologis. Mereka terlibat dalam program perhutanan sosial, hutan adat, dan hutan rakyat yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka Remedy, peran mereka sangat strategis dan layak mendapat pengakuan sebagai mitra sejajar dalam pemulihan hutan.
Transformasi Tata Kelola
Jika Remedy Framework diimplementasikan dengan serius, maka arah tata kelola kehutanan nasional akan mengalami transformasi besar: dari model sentralistik dan korporatis menuju sistem kolaboratif dan partisipatif.
Pemerintah, lembaga sertifikasi, dan sektor swasta harus memberi ruang bagi masyarakat adat dan PETARU untuk terlibat aktif. Bukan sekadar objek dari kebijakan, mereka harus menjadi subjek yang diakui dalam pengambilan keputusan. Ini adalah bagian dari upaya korektif atas ketimpangan historis di sektor kehutanan, di mana selama ini akses terhadap sumber daya lebih banyak dinikmati oleh pemegang konsesi besar.
Implementasi Remedy Framework juga menjadi momen penentu: apakah Indonesia sungguh-sungguh ingin menjembatani kepentingan ekonomi dan keadilan ekologis? Apakah kita siap meninggalkan pola lama yang eksploitatif, dan beralih pada model yang lebih adil, berkelanjutan, dan berakar pada kearifan lokal?
Jalan Menuju Masa Depan yang Adil
Kehadiran Remedy Framework dan lahirnya konsep PETARU memberikan harapan baru. Hutan tidak lagi semata dihitung sebagai penutup lahan atau stok karbon, melainkan sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan. Pemulihan hutan bukan hanya soal rehabilitasi fisik, tapi juga pemulihan martabat masyarakat penjaga hutan.
Data menunjukkan bahwa 4 juta hektare hutan tanaman mampu menghasilkan 50 juta meter kubik kayu per tahun, jauh lebih tinggi dibanding produksi dari 18 juta hektare hutan alam yang tersisa. Namun kekuatan utama dari hutan tanaman bukan hanya soal volume produksi, melainkan siapa yang mengelolanya dan untuk siapa hasilnya.
Jika Indonesia mampu menempatkan masyarakat lokal sebagai garda depan dalam pemulihan hutan, maka kita bukan hanya memperbaiki ekosistem, tetapi juga memperbaiki arah pembangunan. Remedy Framework adalah titik awal dari proses panjang menuju pengakuan, pemulihan, dan keadilan ekologis yang selama ini tertunda.
-- Masri Sareb Putra, M.A.
Post a Comment
Thank you for your comment