Masyarakat yang Punya Tanah: Jangan Lagi Lepas Tanahmu ke Perusahaan Sawit!

Jangan Lagi Lepas Tanahmu ke Perusahaan Sawit!
Petani sawit mandiri wajib kita dorong, stop izin usaha perkebunan skala besar. Dok. penulis.

Oleh Jelayan Kaki Kuta


Berkaca dari pengalaman puluhan desa di Kalimantan Barat, satu kesimpulan menguat: petani lokal sebaiknya tidak lagi berbagi tanah dengan perusahaan sawit. Janji manis plasma sering kali berakhir mengecewakan. Tanah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan justru hilang kendali, penghasilan yang diterima tidak sebanding, utang menumpuk, posisi tawar petani melemah, bahkan keberadaan aparat lebih banyak menekan daripada melindungi.


Sejumlah penelitian dan laporan lapangan menunjukkan bahwa model kemitraan plasma, meskipun terdengar menjanjikan, hampir selalu berakhir timpang. Penelitian yang dilakukan oleh World Agroforestry Centre tahun 2017 di Kabupaten SintangKapuas Hulu, dan Ketapang mencatat bahwa lebih dari 60 persen petani plasma tidak merasakan manfaat ekonomi signifikan dari kebun yang dikelola perusahaan. Nilai jual tandan buah segar (TBS) sering kali ditentukan oleh harga perusahaan yang jauh di bawah harga pasar, sementara biaya perawatan tanaman tetap dibebankan pada petani.


Janji Manis yang Berujung Kehilangan

Model kemitraan sawit kerap menawarkan sejumlah janji. Petani dijanjikan tanahnya akan diolah dengan bantuan modal dan teknis, sebagian keuntungan akan kembali sebagai penghasilan, dan infrastruktur akan tersedia untuk menunjang produktivitas. Pada praktiknya, janji-janji ini jarang terealisasi. Studi oleh CIFOR tahun 2018 mencatat bahwa banyak petani yang awalnya tergiur skema plasma justru kehilangan tanah mereka karena mekanisme administrasi yang kompleks dan sulit diawasi. Sertifikat tanah, dokumen hak guna lahan, atau perjanjian plasma sering kali tidak lengkap atau ambigu, sehingga perusahaan memiliki ruang untuk mengambil alih kontrol.



Kasus di Kabupaten Sanggau dan Ketapang memperlihatkan pola yang serupa. Masyarakat menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan kebun plasma, tetapi tanah yang dikuasai petani secara resmi menyusut drastis. Lahan yang tersisa seringkali berada di lokasi marginal sehingga produktivitas rendah. Akhirnya, penghasilan petani tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan, sementara perusahaan memperoleh keuntungan maksimal dari lahan subur yang tersisa.


Utang Menumpuk dan Posisi Tawar Melemah

Salah satu jebakan lain dari model kemitraan adalah utang yang menumpuk. Untuk mengelola plasma, petani harus meminjam modal awal dari perusahaan. Awalnya, modal ini tampak kecil dan mudah dikelola, tetapi biaya-biaya tersembunyi sering muncul. Mulai dari biaya pupuk, pestisida, transportasi, hingga administrasi, semuanya dibebankan pada petani. Ketika panen tiba, nilai TBS yang diberikan perusahaan sering kali dipotong untuk menutupi hutang-hutang yang seolah tidak pernah jelas perhitungannya.


Fenomena ini menurunkan posisi tawar petani di mata perusahaan. Mereka tidak lagi menjadi pihak yang mandiri tetapi bergantung penuh pada sistem perusahaan. Hal ini diamati di Desa Sungai Ringin, Ketapang, oleh Tim Riset Universitas Tanjungpura tahun 2019. Di sana, petani plasma merasa tidak memiliki hak untuk menolak harga TBS yang ditetapkan perusahaan. Bahkan ketika harga pasar meningkat, perusahaan tetap menggunakan skema perhitungan internal yang merugikan petani.


Selain itu, tekanan sosial dan aparat juga tidak jarang dirasakan. Dalam beberapa kasus, laporan WALHI Kalbar tahun 2020 menunjukkan bahwa aparat lokal cenderung melindungi perusahaan, sehingga petani yang mengeluh atau menuntut hak mereka menghadapi intimidasi atau sanksi administratif. Situasi ini menciptakan ketergantungan yang sulit diputuskan, memperkuat alasan untuk mengelola tanah secara mandiri.


Model Mandiri: Skala Kecil dan Koperasi Transparan

Alternatif terbaik bagi petani adalah mengelola tanah secara mandiri, baik dalam skala kecil maupun melalui koperasi lokal yang transparan. Banyak desa di Kalimantan Barat yang berhasil menerapkan model ini. Desa Nanga Tayap di Kapuas Hulu misalnya, berhasil meningkatkan pendapatan petani dengan menanam sawit secara mandiri dalam skala kecil dan menjual TBS langsung ke pabrik lokal. Model ini menghilangkan rantai pemotongan yang dilakukan perusahaan dan menjaga penghasilan tetap berada di tangan petani.


Koperasi lokal juga terbukti menjadi instrumen efektif untuk memperkuat posisi tawar petani. Penelitian CIFOR 2019 mengenai koperasi sawit di Kabupaten Sintang menemukan bahwa koperasi yang dikelola transparan dan akuntabel mampu meningkatkan pendapatan anggota hingga 30 persen dibandingkan model plasma. Kunci keberhasilan adalah keterlibatan langsung anggota dalam pengambilan keputusan, pengelolaan dana yang jelas, serta kemampuan mengakses pasar alternatif di luar perusahaan besar.


Selain itu, model mandiri memungkinkan petani mengelola keberlanjutan lahan secara lebih baik. Petani dapat mengatur rotasi tanaman, memanfaatkan pupuk organik, serta menjaga hutan riparian dan area konservasi di sekitar kebun. Praktik ini tidak hanya menjaga produktivitas jangka panjang tetapi juga memperkuat ketahanan ekologis dan sosial.


Belajar dari Pengalaman Desa Lain

Pengalaman desa-desa lain di Borneo Barat menjadi pelajaran penting. Desa Sungai Bawang, misalnya, menolak model plasma dan memilih mengelola lahan sawit secara mandiri melalui koperasi. Dalam lima tahun terakhir, desa ini berhasil menjaga kepemilikan tanah, meningkatkan pendapatan rata-rata keluarga, dan bahkan menambah lahan produktif dengan membeli lahan kosong secara kolektif. Data koperasi desa menunjukkan peningkatan rata-rata pendapatan per anggota dari Rp 12 juta menjadi Rp 18 juta per tahun, jauh lebih stabil dibandingkan petani plasma di desa sekitar.


Kasus lain di Desa Pangkalan Bun, Ketapang, memperlihatkan keberhasilan pengelolaan skala kecil. Petani yang tergabung dalam kelompok tani organik mampu menjual hasil panen ke pasar regional dan eksportir lokal dengan harga kompetitif. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan penghasilan tetapi juga memupuk rasa kepemilikan dan kemandirian di antara masyarakat.


Pelajaran penting dari semua pengalaman ini adalah bahwa tanah adalah aset strategis yang tidak boleh dikompromikan. Sekali dilepas ke perusahaan, kendali atas lahan hilang dan dampak sosial ekonomi jangka panjang sangat sulit dikendalikan. Oleh karena itu, petani perlu menekankan pengelolaan mandiri, transparansi dalam koperasi, dan akses pasar yang langsung agar tanah tetap menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan.


Pengalaman puluhan desa di Kalimantan Barat dan riset lembaga nasional maupun internasional memperkuat satu pesan sederhana tetapi penting: jangan lagi melepas tanah ke perusahaan sawit. Janji plasma yang terdengar manis sering berakhir dengan tanah hilang, pendapatan tidak seimbang, utang menumpuk, posisi tawar melemah, dan tekanan aparat meningkat.


Alternatif yang terbukti efektif adalah pengelolaan mandiri melalui lahan kecil dan koperasi transparan. Model ini menjaga kendali petani atas tanah, meningkatkan pendapatan, dan memperkuat kemandirian sosial ekonomi. Evidensi dari CIFOR, World Agroforestry Centre, WALHI, serta riset lapangan Universitas Tanjungpura menunjukkan bahwa petani yang mengelola tanah sendiri memiliki masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan.


Ke depan, memperkuat kapasitas petani dalam pengelolaan lahan, pemasaran hasil, serta tata kelola koperasi menjadi kunci untuk menjamin bahwa tanah tetap menjadi milik komunitas dan sumber kehidupan generasi mendatang. Sebagai aset strategis, tanah harus dijaga, bukan dilepas. Belajar dari pengalaman masa lalu, langkah ini bukan hanya strategi ekonomi tetapi juga upaya mempertahankan identitas dan kedaulatan masyarakat lokal di Borneo Barat.

Thank you for your comment

Post a Comment

Thank you for your comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post