Petani Sawit Mandiri bisa mandiri dengan 2 kavling. Dok. Siska. |
Oleh Masri Sareb Putra
Di tengah hiruk-pikuk industri kelapa sawit yang menjadi
tulang punggung ekonomi Indonesia, sering kali kita mendengar cerita pilu
tentang petani kecil yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Padahal, dengan
lahan sekecil 2 kavling yang biasanya setara dengan sekitar 4 hektar; petani
sawit mandiri seharusnya bisa hidup makmur.
Bayangkan saja! Indonesia sebagai produsen sawit terbesar
dunia dengan luas areal mencapai 16,83 juta hektar dan produksi 46,82 juta ton
pada 2022, tapi kenapa petani kecil masih merana? Ini bukan soal kurangnya
potensi, tapi lebih pada pengelolaan yang buruk, kurangnya pengetahuan, dan
rantai pasok yang sering kali saling memangsa.
Petani Sawit mandiri wajib mandiri
Mari kita mulai dari dasar. Apa sih yang dimaksud dengan "petani sawit mandiri"? Mereka adalah petani kecil yang mengelola kebun sendiri, tanpa ikatan plasma dengan perusahaan besar. Di Indonesia, program seperti PIR (Perkebunan Inti Rakyat) sering memberikan alokasi lahan 2 hektar per keluarga, jadi 2 kavling bisa berarti 4 hektar. Ini ukuran yang realistis untuk petani rumahan, asal dikelola dengan baik. Tapi, keberhasilan tergantung pada produktivitas.
Berdasarkan data, produktivitas sawit nasional masih stagnan
di sekitar 2,85 ton CPO (minyak sawit mentah) per hektar per tahun, padahal
potensinya bisa mencapai dua kali lipat jika genetik dan perawatan optimal.
Untuk TBS (Tandan Buah Segar), yang jadi ukuran utama bagi petani, rata-rata
produksi sekitar 18-25 ton per hektar per tahun di kebun matang.
Bayangkan sebuah kavling standar 2 hektar. Dengan perawatan
baik seperti pemupukan tepat, pengendalian hama, dan pemilihan bibit
unggul; kebun bisa menghasilkan 20 ton TBS per hektar per tahun. Jadi, untuk
satu kavling (2 ha), produksinya sekitar 40 ton per tahun. Kalau 2 kavling (4
ha), total 80 ton per tahun. Tapi, panen sawit bukan sekali setahun, melainkan
siklus. Pohon sawit panen setiap 10-14 hari, atau sekitar 26-36 kali per tahun,
tergantung varietas dan kondisi tanah. Sekali panen per hektar, estimasinya
0,7-1 ton TBS, tergantung musim. Di musim puncak (biasanya Maret-Juni), bisa
lebih tinggi, mencapai 1,2 ton per hektar per panen.
Saya ingat cerita seorang petani di Riau yang saya baca di
forum online. Dia bilang, dengan AI untuk rekomendasi pemupukan, panennya naik
20%. Itu bukti teknologi bisa bantu petani mandiri. Tapi, realitas di lapangan
sering berbeda. Banyak kebun petani mandiri hanya capai 10-15 ton per hektar
per tahun karena kurang perawatan. Menurut pakar, potensi genetik sawit bisa 4
ton CPO per hektar, yang setara dengan 20 ton TBS. Kalau petani pakai bibit
bersertifikat dan irigasi, hasil bisa optimal. Contoh, di Asian Agri, mereka
klaim 4,17 ton per hektar untuk CPO, jauh di atas rata-rata.
Sekarang, soal harga. Ini yang bikin petani bisa makmur atau
malah sengsara. Pada September 2025, harga TBS di berbagai provinsi seperti
Kalbar dan Sumut berkisar Rp 3.000-3.500 per kg, tergantung umur pohon dan
kualitas. Untuk pohon umur 10-20 tahun, harga tertinggi Rp 3.285 per kg. Di
Kaltim, bahkan Rp 2.739 untuk umur 3 tahun, tapi naik seiring umur. Sekali
panen per kavling (2 ha), kalau 1,5 ton TBS (asumsi rata-rata), harganya bisa
Rp 4,5-5 juta (dengan Rp 3.000/kg). Kalau panen 26 kali setahun, pendapatan
kotor per kavling Rp 117-130 juta per tahun. Untuk 2 kavling, hampir Rp 250
juta! Potong biaya produksi seperti pupuk (Rp 20-30 juta/ha/tahun), tenaga
kerja, dan transport, nett-nya masih Rp 100-150 juta per tahun. Itu cukup untuk
hidup layak, bahkan makmur, asal harga stabil.
Tapi, realita sering kejam. Harga fluktuatif karena faktor
global seperti permintaan biodiesel atau larangan impor Eropa. Di Juli 2025,
harga TBS swadaya di Riau naik, bikin petani mandiri senang. Namun, dilema
muncul: ditebang merana (karena harga rendah), tak ditebang sengsara (buah
busuk). Di sinilah poin kedua masuk: kerjasama antara petani, ramp, dan pabrik.
Jangan saling memakan, tapi saling dukung.
Ramp, atau loading ramp, adalah pengepul TBS yang jadi
jembatan antara petani dan pabrik. Di Kalbar, ada 359 ramp, tapi hanya 97
berizin. Ramp ini seharusnya bantu petani dengan transport dan harga adil, tapi
sering potong harga atau main curang. Pola kemitraan sawit resmi tak kenal
ramp; hanya koperasi atau kelompok tani langsung ke pabrik. Di Langkat, rantai
pasok: petani-tengkulak-ramp-pabrik, yang bikin petani rugi karena potongan
berlapis.
Kenapa saling memakan? Pabrik sering prioritaskan TBS dari
kebun sendiri atau plasma, bikin petani mandiri tersisih dari pasar
berkelanjutan. Ramp ambil untung besar dengan beli murah dari petani dan jual
mahal ke pabrik. Hasilnya, petani dapat harga rendah, sementara pabrik keluh
biaya tinggi. Studi menunjukkan, ramp bisa untung miliaran jika dikelola baik,
tapi sering eksploitatif. Contoh unik di Kaur: petani dan ramp gotong royong,
saling bantu panen, hasilnya harmonis.
Solusi petani- Ramp-pabrik
Solusinya? Bangun kerjasama sejati. Petani bentuk koperasi
untuk negosiasi langsung dengan pabrik, bypass ramp jika perlu. Pemerintah
dorong sertifikasi ISPO atau RSPO untuk petani mandiri, seperti yang dilakukan
FORTASBI selama 11 tahun. RSPO bahkan dorong petani beralih dari kredit ke
penjualan fisik langsung. Di Kalbar, BPDP dukung pelatihan ISPO untuk petani
mandiri. Ramp bisa jadi mitra, bukan musuh: ciptakan kontrak adil, transparansi
harga, dan bagi hasil. Pabrik beri insentif untuk TBS berkualitas dari petani
kecil. Ini bukan mimpi; di Sumut, POPSI gelar konferensi dorong petani lebih
mandiri dan kompetitif.
Bayangkan kalau ini terealisasi. Petani dengan 2 kavling tak
lagi bergantung pada ramp curang. Mereka bisa akses pasar global, dapat premium
price untuk sawit berkelanjutan. Pendapatan naik, anak sekolah tinggi, rumah
layak. Tapi, butuh inisiatif dari semua pihak. Pemerintah harus tegas regulasi
ramp, seperti di Kalbar yang ambil langkah tegas. Petani edukasi diri, pakai
teknologi seperti AI untuk optimalisasi. Pabrik buka pintu kerjasama, bukan
tutup mata.
Petani sawit mandiri bisa makmur dengan 2 kavling
kalau produksi optimal dan rantai pasok harmonis. Ini bukan soal luas lahan,
tapi efisiensi dan kerjasama. Jangan biarkan potensi 50 juta ton produksi
nasional sia-sia karena saling memakan. Mari dukung petani kita, karena sawit
adalah milik rakyat.
Post a Comment
Thank you for your comment