Gunarso menekankan, konservasi bukan hanya tentang satwa dan hutan, tetapi juga tentang manusia dan sistem kehidupan yang saling terhubung. |
Dalam forum Complimentary Conservation di Hollywood XXI, Jumat (17/10/2025), pakar kehutanan dan konservasi Petrus Gunarso, Ph.D., melontarkan pertanyaan tajam yang menggugah kesadaran publik:
Apakah 24 juta hektar kawasan konservasi Indonesia benar-benar terjaga dan dikelola dengan baik?
Menurut Petrus, Indonesia telah menetapkan 10–17 persen wilayah daratan dan lautan sebagai kawasan konservasi, termasuk taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa—luasnya mencapai 24 juta hektar.
Kawasan ini secara hukum dilindungi dan dikelola oleh lembaga negara yang terpusat. Namun, ia menyoroti bahwa data kondisi ekologi kawasan tersebut belum pernah dilaporkan secara rutin dan transparan.
“Area High Conservation Value (HCV) seluas satu juta hektar saja dilaporkan dan diaudit setiap tahun. Tapi bagaimana dengan 24 juta hektar kawasan konservasi negara? Tidak ada laporan jelas soal kondisi ekologinya,” ujarnya.
Zonasi Konservasi: Dari Inti hingga Pemukiman
Petrus menjelaskan bahwa taman nasional dibagi menjadi lima mintakat (zona) yang berfungsi menjaga keseimbangan antara perlindungan alam dan aktivitas manusia.
Pertama, Zona Inti (Core Zone), kawasan yang dilindungi ketat karena memiliki nilai ekologis tinggi. Kedua, Zona Rimba (Wilderness Zone), wilayah alami untuk penelitian dan wisata yang tidak merusak lingkungan. Ketiga, Zona Pemanfaatan (Utilization Zone) yang diperbolehkan untuk ekowisata, penelitian, dan pendidikan. Keempat, Zona Pemukiman (Settlement Zone) yang menyediakan ruang bagi masyarakat lokal. Terakhir, Zona Rehabilitasi (Rehabilitation Zone) yang difokuskan pada pemulihan ekosistem rusak.
Struktur zonasi ini, menurut Petrus, ideal di atas kertas. Namun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam pemantauan, tata kelola, dan pelibatan masyarakat lokal.
Cukupkah 10–17 Persen untuk Alam? Adilkah untuk Manusia?
Petrus mengajak publik mempertanyakan proporsi ruang yang dialokasikan negara. “Apakah alokasi 10–17 persen cukup untuk menjaga keberlanjutan ekologis Indonesia?” tanyanya.
Ia membandingkan luas sawah nasional yang hanya 7 juta hektar, atau sekitar 3,6 persen dari luas daratan Indonesia (192 juta hektar). “Jika lahan sawah yang terbatas itu harus mencukupi pangan untuk 270 juta penduduk, sementara satwa liar mendapat ruang hingga 24 juta hektar, adilkah pembagian ini?” lanjutnya.
Selain soal keadilan ruang, Petrus menyoroti produktivitas hutan yang timpang. Hutan tanaman industri seluas 4 juta hektar mampu menghasilkan 56 juta meter kubik kayu per tahun, sedangkan hutan alam seluas 50 juta hektar hanya menghasilkan kurang dari 5 juta meter kubik. Ketimpangan ini, menurutnya, menunjukkan bahwa pengelolaan hutan alam dan kawasan konservasi belum efisien maupun produktif secara ekologis dan ekonomi.
Mengenal Nilai Konservasi Tinggi (NKT)
Dalam pemaparannya, Petrus juga memperkenalkan konsep Nilai Konservasi Tinggi (NKT) atau High Conservation Value (HCV) yakni pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi dan melindungi kawasan penting secara ekologis, sosial, atau budaya.
NKT terdiri dari enam kategori utama:
- NKT 1–3: Keanekaragaman hayati
- NKT 4: Jasa lingkungan, seperti air, tanah, dan iklim
- NKT 5–6: Nilai sosial dan budaya masyarakat lokal
Gunarso menekankan, konservasi bukan hanya tentang satwa dan hutan, tetapi juga tentang manusia dan sistem kehidupan yang saling terhubung.
“Konservasi tidak boleh berhenti pada simbol. Ia harus hidup dalam sistem sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar hutan,” tegasnya.
Pesan untuk Generasi Muda
Petrus berpesan agar generasi muda memandang konservasi secara lebih luas dan kritis. Ia mengingatkan pentingnya transparansi data, efektivitas pengelolaan, dan keseimbangan antara perlindungan alam serta kesejahteraan manusia.
“Jangan hanya berpikir tentang hutan dan satwa, tetapi juga tentang bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan alam secara adil dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Fakta dan Angka Koonservasi Indonesia
Indonesia memiliki kawasan konservasi nasional seluas 24
juta hektare, atau sekitar 10–17 persen dari total daratan. Angka ini
menunjukkan komitmen besar negara terhadap pelestarian keanekaragaman hayati.
Namun, di tengah luasnya kawasan tersebut, tekanan terhadap lahan terus
meningkat akibat kebutuhan pangan dan ekspansi industri. Sebagai perbandingan, luas
sawah nasional hanya mencapai 7 juta hektare atau sekitar 3,6 persen dari luas
daratan, memperlihatkan ketimpangan antara area konservasi dan lahan produktif
yang menopang ketahanan pangan nasional.
Fakta dan Angka Koonservasi Indonesia |
Di sektor kehutanan, dinamika yang terjadi tak kalah kompleks. Hutan tanaman industri (HTI) yang mencakup 4 juta hektare mampu menghasilkan sekitar 56 juta meter kubik kayu per tahun. Sebaliknya, hutan alam seluas 50 juta hektare kini hanya mampu memproduksi kurang dari 5 juta meter kubik per tahun. Ketimpangan ini memperlihatkan tekanan terhadap hutan alam yang semakin menurun produktivitasnya, sementara sistem budidaya terencana melalui HTI justru menjadi tumpuan suplai bahan baku industri kehutanan.
Meski demikian, upaya menjaga keberlanjutan ekosistem tetap
berjalan. Setidaknya 1 juta hektare area dengan nilai konservasi tinggi (High
Conservation Value/HCV) dilaporkan secara rutin sebagai bagian dari komitmen
perusahaan dan lembaga konservasi terhadap prinsip keberlanjutan. Namun, di
balik angka-angka tersebut, masih muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana luas
dan laporan rutin ini benar-benar mencerminkan efektivitas konservasi, di
tengah desakan ekonomi dan eksploitasi sumber daya yang kian masif?
Pewarta: Rangkaya Bada
Post a Comment
Thank you for your comment