Petani Sawit Mandiri yang Kian Perlu Didorong Posisi dan Dominasinya

Petani sawit mandiri untuk ketahanan ekonomi bangsa.
Petani sawit mandiri wajib didorong kepemilikan lahan dan dominasinya. Ist.

Oleh Rangkaya Bada


Menyusuri jalur lintas Sumatera atau menembus jalan tanah merah di pedalaman Borneo, pandangan hampir selalu terhenti pada hamparan sawit. Rumpun hijau itu membentang sejauh mata memandang; menandai Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, dengan lahan lebih dari 16 juta hektar.


Namun, di balik angka yang mentereng, muncul pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang memegang kendali atas pohon-pohon itu? Gambaran umum kerap jatuh pada korporasi besar, dengan kebun rapi dan mesin panen berderu. Padahal, hampir empat dari sepuluh hektar sawit nasional ditanam oleh petani kecil; baik lewat pola plasma maupun secara mandiri.


Data menunjukkan, tak kurang dari 6,7 juta hektar sawit berada di tangan rakyat. Dari sana, lahir sekitar 38 persen produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. Angka itu menegaskan satu hal: petani bukan sekadar pengisi celah, melainkan penopang utama industri yang menyumbang devisa puluhan miliar dolar setiap tahun.


Sawit dan Kehidupan di Desa

Bagi banyak desa, sawit telah menjelma menjadi denyut ekonomi. Cerita seorang petani di Riau, misalnya, menggambarkan bagaimana dua hektar sawit yang ditanam awal 2000-an cukup untuk membiayai kuliah anaknya di Pekanbaru. Di Kalimantan Barat, seorang ibu dengan bangga menyebut, hasil panen sawit membuat keluarganya bisa membangun rumah permanen; impian yang dulu terasa jauh.


Kisah semacam ini bukan pengecualian. Riset lapangan menunjukkan rumah tangga petani sawit mengalami kenaikan pendapatan 15–25 persen dibanding sebelum memiliki kebun. Tanda-tandanya kasat mata: rumah papan berganti tembok, motor baru terparkir di halaman, anak-anak lebih banyak melanjutkan sekolah.


Selain pemilik kebun, banyak tangan ikut merasakan rezeki sawit: buruh panen, sopir angkutan TBS, pedagang pupuk, hingga pekerja pabrik pengolahan. Desa-desa penghasil sawit kini lebih riuh. Di warung kopi, obrolan harga sawit harian kadang lebih hangat ketimbang kabar politik di televisi.


Rintangan di Kebun Rakyat

Namun jalan petani tak selalu mulus. Tantangan paling nyata adalah usia kebun. Banyak lahan rakyat sudah melewati 20 tahun masa produktif, hasil panen pun menurun. Peremajaan (replanting) mestinya jadi jalan keluar. Tetapi ongkos tinggi dan masa tunggu empat hingga lima tahun membuat banyak petani gamang.


Kendala lain: akses pupuk, bibit unggul, dan pembiayaan. Petani mandiri sering membeli benih dari pasar gelap dengan kualitas rendah; akibatnya produktivitas jauh tertinggal dari kebun perusahaan. Harga di tingkat petani juga kerap dipermainkan tengkulak atau pabrik yang memonopoli pembelian.


Dari luar negeri, tekanan regulasi makin ketat. Uni Eropa, misalnya, menuntut minyak sawit bebas deforestasi dan dapat ditelusuri asal-usulnya. Bagi petani kecil yang tak memiliki peta lahan resmi, aturan semacam ini bisa menutup peluang ekspor ke pasar bernilai tinggi.


Semua itu menyingkap realitas getir: kontribusi petani besar, tetapi posisi tawarnya masih lemah. Sawit memang mengangkat banyak keluarga keluar dari kemiskinan; namun tanpa dukungan yang memadai, mereka rawan terpinggirkan di arus perdagangan global.


Masa Depan Sawit Rakyat

Lalu, ke mana langkah berikutnya? Beberapa upaya telah dimulai. Pemerintah meluncurkan program peremajaan sawit rakyat dengan dana subsidi triliunan rupiah, meski realisasinya masih tersendat. LSM dan koperasi lokal membantu petani memperoleh sertifikasi berkelanjutan agar tak kehilangan pasar. Perbankan pun perlahan membuka skema kredit lebih ramah untuk petani kecil.


Kekuatan lain terletak pada solidaritas. Kelompok tani sawit yang solid terbukti bisa menegosiasikan harga lebih adil dengan pabrik. Ada koperasi yang mengelola logistik sendiri; sehingga petani tak sepenuhnya bergantung pada tengkulak.


Pada ujungnya, sawit bukan semata cerita ekspor atau devisa negara. Sawit adalah kisah keluarga desa yang ingin menyekolahkan anak, ibu-ibu yang membuka warung kecil, atau jalan kampung yang lebih ramai karena truk sawit melintas.


Di balik kontroversi dan kritik, ada harapan yang tumbuh di kebun rakyat. Buah sawit yang ditimbang setiap hari di pelelangan kecil tak hanya berubah menjadi angka ekspor; tetapi juga menjadi beras di meja makan, seragam sekolah, dan biaya berobat.


Sawit rakyat, sejatinya, bukan hanya deret hektar dalam statistik. Ia adalah denyut kehidupan yang menyeberangi sungai, menembus jalan tanah, dan masuk ke dapur rumah sederhana. Di situlah, sawit menemukan arti; sebagai komoditas yang tak hanya menopang negara, tetapi juga menghidupi rakyat kecil yang menanamnya dengan tangan sendiri.

Thank you for your comment

Post a Comment

Thank you for your comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post