| Hutan dan kehutanan Indonesia: siapa punya? |
Buku Hutan dan Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa karya Sadikin Djajapertjunda dan Edje Djamhuri hadir sebagai salah satu karya ilmiah yang mengisi kekosongan literatur sejarah kehutanan Indonesia.
Dalam pengantar Menteri Kehutanan dan Dekan Fakultas Kehutanan IPB, secara tegas dinyatakan bahwa karya seperti ini masih langka; bahkan jarang ditulis oleh rimbawan sendiri. Hal ini menjadikan buku ini penting bukan hanya sebagai rekaman sejarah, tetapi juga sebagai rujukan akademik, kebijakan, dan praktik pengelolaan kehutanan.
Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat luas; namun sepanjang sejarahnya, sejak zaman kerajaan, kolonialisme, hingga era kemerdekaan, pengelolaan hutan selalu mengalami pasang surut. Buku ini ditulis untuk mengurai perjalanan panjang itu, menunjukkan siklus keberhasilan dan kegagalan, serta menampilkan dinamika kebijakan yang silih berganti. Dengan kata lain, buku ini berfungsi sebagai cermin untuk menoleh ke belakang sekaligus kompas untuk menatap ke depan.
Konteks ini penting karena perdebatan tentang kehutanan Indonesia kerap terjebak pada isu kontemporer tanpa melihat akar sejarah. Padahal, banyak persoalan kehutanan masa kini; misalnya deforestasi, konflik tenurial, degradasi hutan, perubahan fungsi kawasan, hingga persoalan kelembagaan; memiliki akar kuat dalam kebijakan masa lalu.
Buku ini membantu pembaca memahami bahwa setiap era memiliki logikanya sendiri dan bahwa pengelolaan hutan tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, ekonomi, dan sosial.
Isi, Struktur, dan Pendekatan Penulisan
Sebagaimana terlihat dari pengantar, buku ini menelusuri sejarah kehutanan Indonesia secara sistematis dari masa ke masa: masa prasejarah dan kerajaan, era penjajahan VOC dan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga masa reformasi. Pendekatan historis ini memberi pembaca gambaran menyeluruh tentang perjalanan kebijakan, kelembagaan, pemanfaatan hutan, dan peran para rimbawan.
Kekuatan utama buku ini adalah keberhasilan penulis menghadirkan alur sejarah yang panjang tanpa kehilangan fokus. Pendekatannya bersifat kronologis dan berbasis data tertulis yang dapat diverifikasi. Dekan Fakultas Kehutanan IPB bahkan menekankan pentingnya dokumen tertulis seperti ini agar tidak terjadi kesalahan pemaknaan atau munculnya “permasalahan jilid kedua” akibat kelangkaan arsip sejarah.
Pada bagian awal, buku ini mengupas pandangan masyarakat prasejarah terhadap hutan, termasuk fungsi ekologis, spiritual, dan ekonomi. Cerita tentang raja-raja Nusantara yang memanfaatkan hutan sebagai sumber kayu, obat-obatan, dan bahan bangunan menunjukkan bahwa pengetahuan kehutanan memiliki akar panjang dalam kebudayaan lokal. Ini sekaligus memberi konteks bahwa hubungan masyarakat Indonesia dengan hutan merupakan warisan panjang yang perlu dihargai.
Memasuki era kolonial, buku ini menyoroti bagaimana Belanda menerapkan sistem eksploitasi hutan secara sistematis. Sebagian besar kebijakan kehutanan modern Indonesia; mulai dari klasifikasi kawasan, tata batas, hingga pengelolaan hutan produksi; merupakan warisan langsung dari pemerintah kolonial. Bagian ini sangat informatif karena menjelaskan asal-usul berbagai kebijakan kontemporer.
Pada periode kemerdekaan hingga Orde Baru, buku ini menampilkan bagaimana hutan menjadi instrumen pembangunan ekonomi nasional. Konversi skala besar, pembukaan HPH, transmigrasi berbasis kawasan hutan, serta pengembangan industri kayu menjadi fokus utama pemerintah. Penulis mengungkapkan bagaimana kebijakan yang berorientasi ekonomi seringkali mengabaikan keberlanjutan; sehingga menimbulkan masalah seperti deforestasi besar-besaran dan melemahnya fungsi ekologi hutan.
Pada masa reformasi, buku ini memotret bagaimana desentralisasi kebijakan menciptakan dinamika baru yang tidak kalah rumit. Daerah diberi kewenangan, tetapi kesiapan kelembagaan dan kapasitas aparatur masih rendah; akibatnya kebijakan sering bertabrakan dengan kondisi lapangan.
Pendekatan penulis yang khas rimbawan; objektif, berbasis data, dan historis; membuat buku ini terasa akademis namun tetap mudah diikuti.
Kekuatan Buku: Kajian Historis yang Jernih dan Relevan
Buku ini memiliki sejumlah keunggulan yang menjadikannya rujukan penting bagi pengambil kebijakan, akademisi, mahasiswa kehutanan, peneliti lingkungan, hingga aktivis konservasi.
Pertama, buku ini menggabungkan dokumentasi sejarah dengan analisis kehutanan modern. Tidak banyak karya yang mampu menembus dua ranah ini secara bersamaan. Umumnya buku sejarah berhenti pada aspek kronologis; sedangkan buku kehutanan fokus pada isu teknis. Buku ini menjembatani keduanya.
Kedua, perspektif penulis sebagai rimbawan memberikan nilai tambah. Penulis memahami terminologi teknis sekaligus konteks kebijakan. Ia tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi menjelaskan sebab dan akibat dari setiap kebijakan yang diambil pemerintah.
Ketiga, buku ini memberi kerangka berpikir yang seimbang: bahwa persoalan kehutanan tidak bisa dilihat secara hitam putih. Banyak keputusan pada masanya dianggap baik, tetapi kemudian terbukti menimbulkan persoalan yang baru. Misalnya, kebijakan eksploitasi kayu pada awal Orde Baru dibuat untuk mendukung pembangunan ekonomi; namun pada akhirnya memicu degradasi ekologis.
Keempat, buku ini menyajikan data sejarah yang jelas dan terstruktur. Bagi mahasiswa atau peneliti, keberadaan referensi seperti ini sangat membantu untuk telaah akademik maupun penelitian lanjutan.
Kelima, buku ini memberikan pesan moral yang kuat: bahwa masa depan kehutanan Indonesia bergantung pada kemampuan bangsa ini belajar dari sejarah. Tanpa itu, kesalahan yang sama akan terus berulang.
Relevansi Buku untuk Masa Kini
Meski sangat kuat, buku ini tidak lepas dari beberapa kelemahan kecil.
Pertama, pembahasan lebih terpusat pada perspektif negara dan kelembagaan formal. Sementara unsur masyarakat adat, komunitas lokal, atau dinamika sosial di pedalaman belum mendapat porsi memadai. Padahal hubungan masyarakat adat dan hutan merupakan isu strategis di Indonesia.
Kedua, gaya penulisan cenderung formal dan teknis. Bagi pembaca umum, beberapa bagian terasa padat sehingga membutuhkan konsentrasi lebih.
Ketiga, karena terbit pada 2013, buku ini belum mencakup isu-isu terbaru; seperti mitigasi perubahan iklim, restorasi gambut, kebijakan satu peta, perdagangan karbon, ESG, serta dinamika sawit dan FOLU Net Sink 2030. Walau demikian, hal ini bukan kelemahan substansial; hanya batasan waktu penulisan.
Terlepas dari kekurangan tersebut, relevansi buku ini luar biasa besar bagi masa kini. Ketika perubahan iklim menjadi ancaman global, ketika konflik tenurial dan deforestasi masih terjadi, ketika perusahaan dan pemerintah mulai berbicara tentang keberlanjutan, buku ini memberi akar historis untuk memahami persoalan tersebut.
Buku ini mengingatkan bahwa kehutanan Indonesia bukan sekadar urusan teknis; tetapi perjalanan panjang yang dipengaruhi politik, ekonomi, dan geostrategi.
Post a Comment
Thank you for your comment