Petani Sawit Mandiri di Kalimantan Juga Perempuan

Sawit mensejahterakan petani mandiri.
Sawit mensejahterakan petani mandiri asalkan perusahaan dan oligarki tidak rakus dan buas. Dok. Siska.


Oleh Rangkaya Bada


Di banyak pelosok Kalimantan, istilah petani sawit mandiri tidak sekadar kategori ekonomi, tetapi juga pernyataan kedaulatan. Mereka bukan buruh perusahaan, bukan pula penerima upah harian, melainkan pengelola lahan yang tumbuh dari jerih payah sendiri. Dalam konteks ini, manfaat sawit bagi masyarakat tidak berhenti pada angka pendapatan, melainkan menjangkau dimensi sosial, kemandirian keluarga, dan martabat lokal.


Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN, 2022) memperkirakan lebih dari 42 persen kebun sawit di Indonesia dimiliki oleh petani rakyat, dengan porsi terbesar berada di Kalimantan. Mereka menjadi penyangga ekonomi pedesaan dan penyedia lapangan kerja informal bagi kerabat serta tetangga sekitar. Dengan produktivitas rata-rata 18–22 ton TBS per hektar per tahun, petani swadaya mampu menggerakkan ekonomi lokal melalui sirkulasi uang hasil panen di warung, bengkel, sekolah, dan pasar desa.


Manfaat lainnya adalah otonomi. Petani mandiri memutuskan sendiri kapan menanam, berapa pupuk yang digunakan, dan kepada siapa hasil panen dijual. Ketika koperasi desa atau pabrik mini sawit dibangun oleh komunitas, nilai tambah yang dulu diambil tengkulak kini kembali ke tangan masyarakat. Penelitian oleh Palm Oil Smallholders Union (POSU, 2023) di Kalimantan Barat mencatat kenaikan pendapatan hingga 28 persen setelah petani tergabung dalam koperasi yang menjual TBS secara kolektif ke pabrik bersertifikat.


Selain ekonomi, sawit mandiri juga menjaga keseimbangan pangan keluarga. Banyak petani menanam sayur dan padi di sela-sela tanaman muda, memelihara ayam, atau menebar ikan di parit kebun. Pola campuran ini memperkuat ketahanan pangan dan mencegah ketergantungan pada pasar luar. Sawit bagi mereka bukan hanya komoditas ekspor, melainkan jaring pengaman sosial.


Dua Kavling Saja Bisa Untuk Hidup

Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah dua kavling sawit, sekitar dua hektar, benar-benar cukup untuk menopang kehidupan satu keluarga? Jawabannya: bisa, selama lahan itu dikelola dengan baik dan hasilnya tidak tergerus oleh perantara.


Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun, 2023), produksi rata-rata petani mandiri mencapai 20 ton TBS per hektar per tahun dengan harga TBS rata-rata Rp2.000 per kilogram di tingkat pabrik. Artinya, satu hektar menghasilkan sekitar Rp40 juta per tahun, atau dua hektar setara Rp80 juta kotor. Setelah dikurangi biaya pupuk, transportasi, dan tenaga kerja yang berkisar 30 persen, pendapatan bersih sekitar Rp55 juta per tahun, atau Rp4,5 juta per bulan. Angka ini setara dengan penghasilan layak bagi satu keluarga petani di pedesaan Kalimantan, apalagi bila ditambah hasil sampingan dari ternak dan kebun campuran.


Namun, semua itu bergantung pada tiga faktor penting: umur tanaman, akses jalan ke pabrik, dan stabilitas harga. Pohon sawit yang berusia 8–15 tahun berada di puncak produksi. Setelah 20 tahun, hasil menurun drastis dan butuh replanting. Akses jalan yang rusak membuat biaya angkut melonjak, sehingga margin keuntungan menurun. Harga TBS yang fluktuatif juga dapat menekan pendapatan. Karena itu, kebijakan pemerintah daerah untuk memperbaiki jalan produksi dan memberikan pelatihan intensifikasi menjadi kunci agar dua hektar benar-benar bisa “hidup”.


Fakta lapangan menunjukkan bahwa petani dengan dua hektar bisa hidup layak jika mampu mengelola hasilnya. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, misalnya, riset LSM Sawit Watch (2021) menunjukkan bahwa keluarga petani yang memiliki dua hektar kebun produktif mampu membiayai pendidikan anak hingga perguruan tinggi, memperbaiki rumah, serta menabung untuk peremajaan tanaman. Dengan perhitungan yang cermat dan solidaritas komunitas, dua kavling bukan sekadar simbol kepemilikan, melainkan dasar bagi kemandirian ekonomi.


Perempuan Juga Petani

Di antara deretan batang sawit dan tumpukan buah segar di pinggir jalan, sosok perempuan jarang disebut, padahal mereka hadir di setiap tahap kerja. Mereka menyiangi rumput, mengumpulkan brondolan, mengangkut hasil panen, mencatat penjualan, hingga mengatur keuangan keluarga. Tanpa mereka, roda sawit mandiri tidak akan berputar.


Riset Oxfam (2020) dan The International Labour Organization (ILO, 2022) menunjukkan bahwa sekitar 40 persen tenaga kerja di perkebunan sawit rakyat adalah perempuan, baik sebagai anggota keluarga maupun pekerja lepas. Namun hanya sedikit yang tercatat sebagai pemilik lahan atau anggota koperasi. Banyak nama perempuan tidak tercantum dalam sertifikat tanah karena dianggap “harta keluarga” di bawah nama suami.


Padahal, ketika perempuan mendapatkan akses pelatihan dan hak legal, hasilnya jauh lebih produktif. Studi dari CIFOR (Center for International Forestry Research) di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa petani perempuan yang mengikuti pelatihan pengelolaan kebun berkelanjutan meningkatkan efisiensi pupuk hingga 25 persen dan menekan biaya produksi rata-rata Rp5 juta per hektar per tahun. Selain itu, perempuan lebih disiplin mencatat pengeluaran dan hasil panen, sehingga manajemen keuangan keluarga menjadi lebih transparan.


Banyak juga perempuan yang memanfaatkan hasil kebun sawit untuk membuka usaha kecil, seperti warung kelontong atau kios bensin. Dengan begitu, sawit bukan hanya sumber pendapatan, tetapi juga modal bagi diversifikasi ekonomi desa. Jika peran perempuan diakui secara penuh, maka keberlanjutan sawit mandiri akan lebih kuat dan adil.


Namun, jalan menuju kesetaraan masih panjang. Perempuan kerap menghadapi beban ganda: mengurus rumah tangga sekaligus bekerja di kebun. Upah mereka sering lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Perlindungan sosial bagi pekerja perempuan masih minim, terutama di sektor informal. Oleh sebab itu, pengakuan formal atas peran perempuan dalam skema kepemilikan, koperasi, dan kebijakan desa mutlak diperlukan.


Lahan Masyarakat Jangan Lagi Dijual atau Dicaplok

Ancaman terbesar bagi petani sawit mandiri bukan lagi hama atau pupuk mahal, melainkan perampasan lahan secara sistematis. Dalam dua dekade terakhir, ribuan hektar lahan masyarakat adat dan petani kecil di Kalimantan beralih ke perusahaan besar, baik melalui jual beli, skema kemitraan semu, maupun konsesi yang disahkan pemerintah daerah.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2015–2023 terdapat lebih dari 1,3 juta hektar konflik agraria terkait perkebunan sawit di Kalimantan. Polanya berulang: perusahaan bekerja sama dengan elite politik lokal, memperoleh izin, lalu melakukan ekspansi di atas tanah adat. Masyarakat yang tak punya sertifikat formal sulit membela diri, meski mereka sudah turun-temurun menempati wilayah itu.


Solusinya tidak bisa hanya moral. Harus ada sistem hukum dan ekonomi yang melindungi petani kecil agar tidak tergoda menjual lahan kepada perusahaan. Pertama, pemerintah daerah perlu mempercepat sertifikasi tanah rakyat dengan skema one map policy yang jelas batasnya. Tanah yang diakui secara legal lebih sulit dicaplok. Kedua, desa harus berani membuat peraturan desa (Perdes) yang melarang penjualan lahan produktif tanpa musyawarah publik. Ketiga, koperasi dan pabrik rakyat perlu diperkuat agar petani memiliki akses pasar yang stabil, sehingga tidak menjual lahan karena kepepet ekonomi.


Transparansi perizinan juga penting. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023) menunjukkan bahwa banyak izin perkebunan tumpang tindih dengan hutan lindung atau tanah adat. Publikasi izin secara daring dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan bisa memotong rantai kolusi antara perusahaan dan pejabat lokal.


Selain itu, generasi muda dan perempuan harus dilibatkan dalam pengelolaan lahan. Ketika mereka merasa memiliki masa depan di tanah sendiri, mereka tidak akan mudah menjualnya. Gerakan koperasi perempuan dan kelompok tani muda yang kini tumbuh di Kalimantan Barat dan Tengah adalah contoh harapan baru. Mereka menolak menjual lahan, belajar mengelola sawit berkelanjutan, dan memanfaatkan teknologi digital untuk memasarkan hasil panen.


Menjual lahan memang tampak menguntungkan sesaat, tetapi kehilangan hak atas tanah berarti kehilangan kendali atas masa depan. Lahan adalah sumber daya hidup yang tidak bisa diperbanyak. Begitu berpindah tangan ke perusahaan besar, masyarakat akan kembali menjadi buruh di tanah sendiri.


Petani sawit mandiri membuka jalannya

Petani sawit mandiri di Kalimantan, termasuk perempuan, sedang memperjuangkan ruang hidup dan kedaulatan ekonomi mereka di tengah arus besar korporasi global. Manfaat nyata sawit rakyat telah terbukti: menciptakan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, serta memperkuat ekonomi desa. Dengan dua kavling lahan yang dikelola bijak, keluarga bisa hidup layak dan mandiri.


Semua itu hanya bisa terwujud bila lahan tetap berada di tangan rakyat. Ketika perempuan diberi tempat dalam pengambilan keputusan dan desa berani membuat aturan untuk menjaga tanahnya sendiri, kekuatan lokal akan tumbuh. Dan ketika negara benar-benar berpihak kepada petani kecil, sawit tak lagi menjadi lambang kerakusan dan perampasan, melainkan simbol kemandirian, keadilan, dan keberlanjutan hidup.


Yang kurang justru keberanian moral dan politik untuk memastikan tanah itu tetap menjadi milik mereka yang menanam, menyabit, dan menjaga. Tanah harus kembali pada logika kehidupan, bukan pada logika kekuasaan.


Selama tanah dipegang oleh mereka yang menghidupi bumi, bukan yang mengurasnya, maka masa depan pertanian dan kehutanan Borneo masih bisa diselamatkan. Dari tangan rakyat, kehidupan tumbuh. Dari keberanian menjaga tanah, martabat sebuah bangsa dipertahankan.

Thank you for your comment

Post a Comment

Thank you for your comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post