| Lahan Dayak juga kini, selain ladang juga untuk: SAWIT. |
Oleh Masri Sareb Putra
Tidak banyak orang tahu, peladangan Dayak memiliki sejarah
yang amat panjang. Mochtar Lubis (1980:9) mencatat bahwa masyarakat Kalimantan
telah mengenal budaya ladang sejak sepuluh ribu tahun silam. Artinya, jauh
sebelum istilah pertanian modern dikenal, orang Dayak telah membangun
sistem bercocok tanam yang berakar pada pengetahuan ekologis dan kearifan
sosial.
Bagi orang Dayak, ladang bukan sekadar tempat menanam padi, tetapi merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual. Di ladang, mereka bekerja bersama keluarga, menanam nilai gotong royong, serta menjaga relasi harmonis dengan alam.
Prinsip utamanya sederhana: alam bukan musuh,
melainkan sahabat. Karena itu, setiap pembukaan lahan dilakukan dengan
hati-hati dan memperhatikan keseimbangan hutan.
Tradisi peladangan berpindah dijalankan dengan prinsip keberlanjutan. Setiap keluarga membuka lahan kecil, dua hingga tiga hektar, menggunakan alat sederhana dan tenaga manusia. Pohon besar dibiarkan berdiri sebagai penyangga ekosistem, dan setelah masa tanam serta panen, lahan dibiarkan pulih selama belasan tahun hingga vegetasi tumbuh kembali. Siklus panjang ini menjaga kesuburan tanah dan kelestarian hutan.
Sawit dan Perubahan Tata Guna Lahan
Dalam tiga dekade terakhir, sebagian besar lahan ladang Dayak beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Ekspansi industri sawit
telah mengubah lanskap sosial-ekologis pedalaman Borneo secara signifikan.
Tanah adat yang dulu dikelola secara kolektif dengan sistem rotasi ladang kini
berubah menjadi kebun monokultur yang dikuasai perusahaan.
Perubahan ini memperkenalkan pola penguasaan tanah yang
berorientasi modal besar. Ribuan hektar hutan dibuka sekaligus menggunakan alat
berat; bukit diratakan, rawa dikeringkan, dan sungai menjadi keruh. Lahan yang
semula berfungsi sosial kini menjadi komoditas ekonomi. Bagi masyarakat adat,
ini bukan sekadar kehilangan sumber pangan, melainkan juga kehilangan ruang
budaya dan kedaulatan atas tanah.
Ironisnya, dalam wacana publik, peladangan Dayak sering disalahkan sebagai penyebab deforestasi. Padahal, data lapangan menunjukkan bahwa peladangan tradisional berkontribusi sangat kecil terhadap kerusakan hutan. Justru ekspansi industri sawit dan tambanglah yang menjadi penyebab utama hilangnya hutan tropis di Borneo, mengubah sistem ekologis yang telah seimbang selama ribuan tahun menjadi ekosistem monokultur yang rapuh.
Dari Kemandirian ke Ketergantungan
Kini banyak bekas ladang berubah menjadi “lahan perusahaan.”
Orang Dayak yang dahulu hidup dari tanah kini menjadi buruh di kebun sawit di
atas tanah mereka sendiri. Transformasi ini tidak hanya berdampak ekologis,
tetapi juga sosial: muncul ketimpangan ekonomi, konflik agraria, dan melemahnya
kemandirian pangan.
Peladangan Dayak terbukti sebagai sistem pertanian yang
lestari selama ribuan tahun, sedangkan ekspansi sawit yang baru berlangsung
beberapa dekade telah menimbulkan kerusakan besar. Karena itu, memahami
perbedaan keduanya menjadi penting agar kebijakan pembangunan tidak
mengorbankan warisan ekologis dan budaya masyarakat adat.
Ladang Dayak bukan sekadar sumber pangan, tetapi juga sumber pengetahuan, spiritualitas, dan jati diri. Ketika lahan tradisional digantikan oleh sawit, yang hilang bukan hanya hutan, tetapi juga sebuah peradaban agraris yang hidup selaras dengan alam.
Pertanyaannya kini: sampai kapan ladang dan
hutan Dayak dapat bertahan di tengah arus ekonomi ekstraktif yang terus meluas
di Borneo?
Post a Comment
Thank you for your comment