Perusahaan Sawit jangan menjadi beban masyarakat, sebaliknya harus memberi kemakmuran dan kesejahteraan. |
Industri kelapa sawit di Indonesia sudah jadi raksasa
ekonomi. Bayangkan saja, negara kita jadi produsen terbesar minyak sawit dunia,
dengan lahan perkebunan mencapai jutaan hektar, terutama di Sumatera dan
Kalimantan. Ekspornya bikin devisa negara banjir, kerjaan tercipta buat jutaan
orang. Tapi, di balik itu semua, ada cerita gelap yang sering terlupakan.
Masyarakat sekitar perkebunan sering jadi korban. Mereka yang hidup bergantung
pada hutan, sungai, dan tanah adat, tiba-tiba kehilangan semuanya karena ekspansi
perusahaan sawit.
Saya riset dari berbagai sumber kredibel, seperti laporan
Human Rights Watch dan studi dari jurnal ilmiah, plus data dari organisasi
lingkungan. Semuanya diverifikasi, berdasarkan fakta lapangan. Ternyata, ada
tiga sisi utama yang merugikan: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kita bahas
satu per satu, biar jelas bagaimana perusahaan sawit, meski bawa untung besar,
sering kali meninggalkan luka mendalam bagi warga lokal. Ini bukan sekadar
opini, tapi realita yang dialami ribuan keluarga di desa-desa terpencil.
Perusahaan sawit sering kali membuka lahan dengan cara
membabat hutan hujan tropis, yang seharusnya jadi paru-paru dunia. Dampaknya?
Banjir lebih sering, tanah longsor, dan udara tercemar. Masyarakat yang dulu
hidup tenang, sekarang harus berjuang melawan perubahan iklim yang mereka tak
ciptakan. Laporan dari Greenpeace bilang, perkebunan sawit sering merambah
hutan yang kaya biodiversitas. Itu baru satu sisi. Masih ada lagi.
Sisi Lingkungan: Kerusakan Alam yang Tak Terhindarkan
Bayangin hidup di desa yang dikelilingi hutan lebat, tiba-tiba diganti barisan pohon sawit seragam. Itu kenyataan bagi banyak masyarakat di Kalimantan dan Sumatera. Deforestasi jadi masalah utama. Antara 1990 sampai 2008, sekitar 5,5 juta hektar hutan hilang gara-gara perkebunan sawit, termasuk 3,1 juta di Indonesia. Hutan yang hilang itu bukan cuma pohon, tapi habitat hewan langka seperti orangutan dan harimau Sumatera. Mereka kehilangan rumah, kita kehilangan keanekaragaman hayati.
Lebih parah lagi, banyak perkebunan dibuka di lahan gambut.
Gambut itu seperti spons karbon, kalau dibuka, karbon dilepas ke udara, bikin
pemanasan global makin cepat. Di Indonesia, pemerintah izinkan perusahaan
drainase lahan gambut buat sawit, hasilnya emisi gas rumah kaca melonjak.
Masyarakat sekitar rasanya langsung. Banjir datang lebih sering karena tanah
tak bisa tahan air lagi. Erosi tanah bikin sungai keruh, ikan-ikan mati. Di
desa-desa dekat perkebunan, warga bilang air sungai jadi tercemar pestisida dan
pupuk kimia dari sawit. Polusi air itu bikin kesehatan mereka terganggu,
anak-anak sering sakit diare atau kulit gatal.
Tak cuma air, udara juga kena. Pembakaran lahan buat buka
perkebunan sering kali lepas kendali, bikin kabut asap tebal. Ingat kejadian
2015? Kebakaran hutan di Indonesia karena sawit bikin seluruh Asia Tenggara
sesak napas. Masyarakat lokal yang paling menderita. Mereka tak bisa keluar
rumah, sekolah tutup, panen gagal. Itu belum hitung dampak jangka panjang
seperti penyakit pernapasan kronis. Perusahaan bilang mereka pakai metode
berkelanjutan, tapi kenyataannya? Banyak yang abaikan aturan, drainase gambut
terus dilakukan, erosi tanah makin parah.
Saya baca laporan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO), mereka akui dampak negatif seperti polusi udara dan air, plus erosi
tanah. Tapi, implementasinya lemah. Masyarakat sekitar sering kali tak punya
suara. Mereka yang bergantung pada hutan buat makanan, obat-obatan, dan air
bersih, sekarang harus beli semuanya. Hilangnya habitat bikin hama bertambah,
seperti kumbang tanduk yang serang tanaman kelapa warga. Hasil panen turun,
keluarga kelaparan. Ini bukan cerita lama; sampai sekarang, ekspansi sawit
terus ancam lingkungan. Kalau tak ada perubahan, generasi mendatang bakal
warisi tanah tandus.
Sisi Sosial: Konflik dan Hilangnya Hak Masyarakat
Bicara soal sosial, ini yang paling menyedihkan. Masyarakat adat sering kali kehilangan tanah leluhur tanpa konsultasi layak. Di Papua Nugini, Kolombia, dan tentu Indonesia, perusahaan sawit ambil lahan paksa, tanpa ganti rugi yang adil. Di Sarawak, Malaysia, ada perdebatan apakah konsultasi dengan masyarakat Long Teran Kanan cukup sebelum lahan mereka jadi perkebunan. Sama halnya di Indonesia, ribuan konflik lahan muncul karena perusahaan tak hormati hak adat.
Human Rights Watch laporkan, di Kalimantan Barat, perusahaan
seperti PT SR melakukan ekspansi tanpa konsultasi beneran, bikin warga
kehilangan lahan pertanian.
Warga transmigran dari Jawa pun kena, mereka yang
dulu dapat lahan dari pemerintah, sekarang digusur. Konflik ini sering berujung
kekerasan. Polisi intimidasi warga yang protes, bahkan ada kasus penangkapan.
Di Bengkayang dan Sarolangun, masyarakat adat kehilangan hutan yang jadi sumber
makanan, air, dan budaya mereka.
Perempuan dan anak paling rentan. Dengan lahan hilang,
perempuan harus kerja keras di perkebunan, sering tanpa upah layak, atau bantu
keluarga tanpa bayar. Anak-anak kehilangan akses pendidikan karena sekolah jauh
atau keluarga miskin. Ketidakamanan pangan naik, karena tanaman pangan
tradisional diganti sawit. Di desa-desa Borneo, hampir setengah desa tolak
perusahaan sawit karena masalah ini.
Institusi lokal rusak. Lembaga adat yang dulu kuat, sekarang
hilang marwahnya karena tekanan perusahaan. Masyarakat yang dulu harmonis,
sekarang pecah belah. Ada yang dukung sawit karena janji kerja, tapi banyak
yang rugi. Pemerintah coba atasi dengan inisiatif seperti One Map buat catat
kepemilikan lahan, tapi hasilnya campur aduk. Konflik ini tak cuma lokal;
berdampak pada hak asasi manusia secara luas. Masyarakat adat merasa budaya
mereka dihapus, ritual dan pengetahuan tradisional lenyap bersama hutan.
Sisi Ekonomi: Eksploitasi Buruh dan Ketidakadilan
Ekonomi seharusnya jadi sisi positif, tapi buat masyarakat
sekitar, sering kali sebaliknya. Ya, sawit cipta lapangan kerja, tapi buruh
sering dieksploitasi. Upah di bawah minimum, kerja berbahaya tanpa
perlindungan. Buruh terpapar bahan kimia beracun, tanpa alat pelindung yang
layak. Di perkebunan, pekerja sering dibayar kurang dari upah minimum, dan
eksposur kimia bikin kesehatan mereka rusak.
Masyarakat adat yang kehilangan lahan, terpaksa jadi buruh
murah. Mereka yang dulu mandiri bertani, sekarang tergantung perusahaan.
Ekonomi lokal rusak karena ketergantungan pada sawit. Kalau harga sawit turun,
ribuan keluarga menderita. Manfaat ekonomi lebih ke migran daripada warga asli.
Masyarakat adat lihat dampak negatif seperti ketidakamanan pangan dan
pelanggaran hak.
Degradasi ekosistem bikin produksi pertanian dan perikanan
turun. Warga yang dulu panen ikan atau tanam padi, sekarang kesulitan. Intrusi
air asin dan hama dari sawit bikin hasil panen anjlok. Ekonomi desa yang dulu
beragam, sekarang monoculture sawit. Itu riskan. Kalau penyakit tanaman datang,
semuanya hancur.
Pemerintah bilang sawit bawa kemakmuran, tapi data bilang lain. Di banyak daerah, kemiskinan naik karena hilangnya mata pencaharian tradisional. Buruh perempuan dan anak sering jadi korban tersembunyi, kerja tanpa hak cuti atau asuransi. Ini ketidakadilan ekonomi yang dalam. Perusahaan untung besar, masyarakat lokal bayar mahal.
Saatnya Perubahan
Tiga sisi ini: lingkungan, sosial, ekonomi metunjukkan
bagaimana perusahaan sawit merugikan masyarakat sekitar. Deforestasi bikin alam
rusak, konflik lahan pecah belah komunitas, eksploitasi buruh cipta kemiskinan
baru. Tapi, ada harapan.
Dengan regulasi lebih ketat, konsultasi asli, dan
praktik berkelanjutan, mungkin bisa imbang. Pemerintah, perusahaan, dan
masyarakat harus kerja sama. Kalau tidak, warisan kita cuma tanah gersang dan
cerita pilu. Sudah saatnya kita dengar suara warga lokal, sebelum terlambat.
Post a Comment
Thank you for your comment