| Moratorium izin sawit bagi perusahaan skala besar. Kredit foto: Eremespe. |
Oleh: Hertanto Torunas Moncas
Petani sawit mandiri menunjukkan daya tahan dan tanggung jawab yang kuat terhadap tanah yang mereka kelola. Sebaliknya, perusahaan skala besar tidak. Karena itu, perlu mendesak adanya regulasi untuk segera menghentikan izin sawit bagi perusahaan skala besar.
Di banyak kampung di Borneo pada umumnya, pemandangannya nyaris seragam: kebun sawit membentang luas, tetapi rumah-rumah warga tetap sederhana. Jalan tanah masih berlubang. Sungai yang dulu jernih kini keruh. Pertanyaan yang kerap muncul dari warga pun sama: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari sawit?
Pertanyaan itu relevan ketika izin sawit terus diberikan kepada perusahaan skala besar, sementara petani sawit mandiri justru bertahan dengan segala keterbatasan. Konflik agraria meningkat, tekanan lingkungan kian berat, dan ketimpangan ekonomi di daerah penghasil sawit tak kunjung terurai.
Dari pengalaman lapangan dan pengamatan langsung di berbagai wilayah, satu kesimpulan makin sulit dihindari: izin sawit bagi perusahaan besar sudah saatnya dihentikan. Kebijakan sawit Indonesia perlu diarahkan sepenuhnya kepada petani mandiri.
Ketika Izin Sawit Melahirkan Ketimpangan
Selama puluhan tahun, pembangunan sawit identik dengan ekspansi. Negara membuka pintu lebar bagi perusahaan besar melalui HGU berskala raksasa. Di atas kertas, ini dianggap efisien dan menguntungkan negara. Namun di lapangan, cerita yang muncul sering kali berbeda.
Saya menyaksikan bagaimana tanah adat berubah status, ladang menyempit, dan masyarakat lokal kehilangan ruang hidupnya. Janji kesejahteraan memang datang lebih dulu, tetapi realisasinya kerap tertinggal. Tidak sedikit warga yang akhirnya hanya menjadi buruh di tanah yang sebelumnya mereka kelola sendiri.
Dominasi perusahaan besar dalam izin sawit menciptakan struktur yang timpang. Perusahaan memiliki modal, akses hukum, dan jaringan pasar global. Petani kecil berhadapan dengan ketidakpastian lahan dan lemahnya posisi tawar. Ketimpangan ini bukan insidental, melainkan sistemik.
Petani Sawit Mandiri: Penopang Sunyi Industri Sawit
Di balik statistik produksi nasional, ada jutaan petani sawit mandiri yang bekerja dalam senyap. Mereka menanam, merawat, dan memanen dengan modal terbatas. Banyak yang tidak memiliki akses langsung ke pabrik, apalagi ke pasar ekspor.
Saya pernah berbincang dengan seorang petani yang menggantungkan hidup pada dua hektare kebun sawit. “Kalau harga turun, kami yang pertama merasakan,” katanya. Ia tidak menolak praktik berkelanjutan, tetapi biaya sertifikasi terlalu mahal dan pendampingan nyaris tak ada.
Ironisnya, ketika pasar global menuntut sawit berkelanjutan, petani mandiri justru tersisih. Bukan karena mereka abai lingkungan, melainkan karena kebijakan lebih ramah terhadap korporasi besar. Jika izin sawit terus diberikan kepada perusahaan besar, ruang hidup dan ruang ekonomi petani mandiri akan makin sempit.
Lingkungan Membayar Harga Mahal
Perkebunan sawit skala besar sering hadir dalam bentuk monokultur. Bentang alam berubah drastis. Hutan menyusut. Keanekaragaman hayati tergerus. Di banyak kampung, perubahan ini terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sungai yang dulu menjadi sumber air bersih dan ikan kini tak lagi sama. Banjir datang lebih sering. Konflik sosial muncul ketika ruang hidup menyempit. Semua ini menjadi biaya tersembunyi dari ekspansi sawit berskala besar.
Sebaliknya, kebun petani mandiri umumnya lebih beragam. Sawit tumbuh berdampingan dengan tanaman pangan atau tanaman keras lain. Skala kecil memungkinkan pengelolaan yang lebih adaptif dan manusiawi. Dampak ekologinya lebih terkendali, manfaat ekonominya langsung dirasakan keluarga petani.
Jika tujuan kita adalah sawit berkelanjutan, maka mendukung petani mandiri adalah pilihan paling rasional.
Mengubah Arah Kebijakan Sawit Indonesia
Menghentikan izin sawit bagi perusahaan besar bukan langkah anti-investasi. Ini adalah koreksi arah pembangunan. Indonesia tidak kekurangan kebun sawit, tetapi kekurangan keadilan dalam pengelolaannya.
Ada beberapa langkah mendesak. Pertama, moratorium izin baru bagi perusahaan besar harus ditegakkan secara konsisten. Fokus kebijakan seharusnya pada peningkatan produktivitas kebun yang sudah ada, terutama milik petani mandiri.
Kedua, legalitas lahan petani kecil harus menjadi prioritas. Tanpa kepastian hukum, petani akan selalu berada dalam posisi rentan. Ketiga, akses petani mandiri terhadap modal, teknologi, dan pasar perlu dibuka selebar-lebarnya. Keempat, standar keberlanjutan harus inklusif dan realistis bagi petani kecil.
Sawit yang Lebih Manusiawi
Sawit akan tetap menjadi bagian penting ekonomi Indonesia. Namun masa depan sawit tidak bisa terus dibangun di atas ketimpangan dan kerusakan lingkungan. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa model berbasis perusahaan besar telah menimbulkan banyak luka sosial dan ekologis.
Sebaliknya, petani sawit mandiri menunjukkan daya tahan dan tanggung jawab yang kuat terhadap tanah yang mereka kelola. Karena itu, perlu mendesak adanya regulasi untuk segera menghentikan izin sawit bagi perusahaan skala besar. Seiring dengan itu, memberi ruang bagi petani mandiri bukan langkah ekstrem, melainkan pilihan yang masuk akal dan berkeadilan.
Di sanalah masa depan sawit Indonesia seharusnya diletakkan.
Post a Comment
Thank you for your comment