Perusahaan sawit seharusnya berbagi dengan petani setempat, jangan kaya sendiri. Kredit gambar: Pontius Pilatus. |
Oleh Masri Sareb Putra
Perusahaan sawit seharusnya berbagi dengan petani setempat. Dengan adanya kepemilikan bersama, baik perusahaan maupun masyarakat akan sama-sama menjaga keberadaan dan kelangsungan perkebunan sawit. Kebersamaan ini membangun rasa memiliki sehingga sawit tidak lagi dipandang sebagai milik sepihak, melainkan aset yang dikelola dan dijaga secara kolektif.
Jika masyarakat juga memiliki bagian dalam usaha sawit, tidak akan muncul iri hati atau kecemburuan sosial. Rasa keadilan akan lebih terasa, sebab semua pihak merasakan manfaat yang nyata. Prinsip berbagi ini bukan hanya memperkuat relasi perusahaan dan warga, tetapi juga menjadi jaminan keberlanjutan usaha dalam jangka panjang.
Perusahaan berbagi dengan masyarakat
Selama ini, konflik yang kerap terjadi antara perusahaan dan masyarakat bersumber dari masalah kepemilikan lahan yang sepenuhnya dikuasai perusahaan, tenaga kerja lokal yang tidak terserap, serta sikap perusahaan yang meninggalkan masyarakat sekitar. Akibatnya, perusahaan sering dipandang hanya mengeruk keuntungan tanpa memberi manfaat berarti bagi warga. Jika pola lama ini dibiarkan, konflik akan terus berulang.
Indonesia masih memegang gelar sebagai produsen minyak
kelapa sawit terbesar di dunia. Dari Riau hingga Kalimantan Barat, dari Aceh
sampai Kalimantan Tengah, bentangan perkebunan sawit kini menjadi pemandangan
yang biasa.
Pada 2023, luas perkebunan sawit mencapai 15,93 juta
hektare, menghasilkan sekitar 47 juta ton crude palm oil (CPO). Angka ini
menempatkan sawit sebagai salah satu tulang punggung ekspor, sekaligus sumber
penghidupan jutaan keluarga.
Tetapi di balik kebanggaan itu, muncul pertanyaan yang lebih
mendasar: siapa pemilik lahan terbesar? Apakah petani kecil yang bekerja keras
di kebun, atau perusahaan raksasa yang menguasai rantai nilai dari hulu hingga
hilir?
Data resmi menunjukkan jawaban yang jelas. Petani rakyat
menguasai 6,74 juta hektare atau 42,29 persen lahan. Perusahaan swasta 8,61
juta hektare (54,08 persen), sementara perkebunan milik negara hanya 0,58 juta
hektare (3,63 persen). Artinya, hampir enam dari sepuluh hektare sawit
Indonesia dikuasai perusahaan.
Dari Ekspansi ke Ketimpangan
Sejarah industri sawit di Indonesia bukan kisah singkat.
Perjalanan panjang dimulai sejak kolonial Belanda memperkenalkan tanaman ini
awal abad ke-20. Namun, akselerasi sesungguhnya terjadi pada 1980-an, saat
pemerintah mendorong program transmigrasi dan memberi karpet merah bagi
investor. Kebijakan itu mempercepat pembukaan lahan dalam skala besar.
Pada awal 2000-an, luas perkebunan sawit baru sekitar 3 juta
hektare. Dua puluh tahun kemudian, angka itu melonjak lebih dari lima kali
lipat menjadi hampir 16 juta hektare. Ekspansi besar-besaran ini mengubah
lanskap pedesaan. Desa-desa yang dulunya bergantung pada karet atau padi
beralih pada sawit, sementara hutan-hutan tropis banyak yang dikonversi menjadi
perkebunan.
Dalam perkembangan itu, petani mandiri perlahan mengambil
peran lebih besar. Mereka kini menguasai lebih dari sepertiga produksi CPO
nasional. Namun, produktivitasnya masih tertinggal. Rata-rata, kebun rakyat
menghasilkan 2,41 ton per hektare per tahun, sedangkan perkebunan swasta
mencapai 3,33 ton. Perbedaan ini berimbas langsung pada pendapatan. Petani
kecil rata-rata hanya memperoleh Rp 20 juta per hektare per tahun, sementara
perusahaan bisa dua kali lipat.
Meskipun begitu, tren kepemilikan lahan rakyat terus
meningkat. Pada 2011, porsinya baru 35 persen. Kini sudah 40–42 persen. Program
pemerintah seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) ikut mendorong pertumbuhan
ini. Namun, dalam praktiknya, banyak petani masih menghadapi kendala klasik:
sulit mendapatkan akses modal, terbatasnya bibit unggul, dan minimnya
sertifikasi berkelanjutan.
Ketimpangan semakin terasa karena perusahaan bukan hanya
menguasai lahan, tetapi juga mengendalikan pabrik pengolahan dan jalur ekspor.
Nama-nama besar seperti Wilmar dan Astra Agro Lestari menegaskan dominasi itu.
Petani mandiri akhirnya bergantung pada perusahaan untuk menjual hasil panen.
Posisi tawar mereka pun lemah.
Data dan Fakta tentang Sawit
Di sektor yang sarat kepentingan, angka statistik sering
menjadi bahan perebutan. Itulah sebabnya verifikasi menjadi hal mutlak.
Statistik resmi Kementerian Pertanian, misalnya, dikumpulkan dari 38 provinsi
melalui survei lapangan yang kemudian divalidasi dengan citra satelit Landsat.
Data BPS untuk 2024 memperkuat temuan itu: luas sawit meningkat menjadi 16,83
juta hektare dengan porsi petani rakyat tetap sekitar 40 persen.
Lembaga lain memberi konfirmasi tambahan. BPDPKS, pengelola
dana perkebunan sawit, melakukan audit berbasis GIS dan menemukan angka serupa:
16,8 juta hektare, dengan petani rakyat mengelola sekitar 41 persen. Think tank
seperti PASPI juga mencatat lonjakan kepemilikan rakyat dari hanya 2 persen
pada 1980-an menjadi 40 persen saat ini. Organisasi internasional pun ikut
menegaskan. RSPO dalam laporan 2024 menyebut kontribusi smallholders di
Indonesia 38–41 persen, sementara IISD menempatkan angka 38 persen.
Perbedaan kecil biasanya muncul dari definisi. Pemerintah
kerap menggabungkan petani plasma (yang bermitra dengan perusahaan) dengan
petani mandiri murni ke dalam kategori “perkebunan rakyat”. LSM seperti
Solidaridad Network lebih ketat. Mereka hanya menghitung independent
smallholders, hasilnya jauh lebih rendah, sekitar 17 persen. Meski demikian,
untuk konteks nasional, pendekatan Kementan yang memasukkan plasma dianggap
lebih realistis.
Angka-angka itu juga memperlihatkan variasi regional. Di
Sumatera, perusahaan swasta mendominasi hingga 60 persen lahan. Sebaliknya, di
Kalimantan, petani rakyat lebih berperan dengan porsi 45 persen. Faktor sejarah
dan akses tanah adat ikut membentuk pola ini. Perusahaan biasanya memperoleh
konsesi besar dari pemerintah, sedangkan petani membuka kebun di lahan adat
atau bekas hutan sekunder.
Dengan begitu, klaim bahwa petani rakyat kini menguasai 40–42 persen lahan bukan sekadar angka di atas kertas. Berbagai sumber, baik nasional maupun internasional, menunjukkan konsistensi. Selisih antar data jarang lebih dari 2 poin persen.
Implikasi dan Jalan ke Depan
Kepemilikan lahan sebesar 40–42 persen oleh petani rakyat
memiliki implikasi luas. Dari sisi ekonomi, kontribusi mereka terhadap PDB
nasional mencapai Rp 200 triliun. Namun, pendapatan per hektare tetap jauh
tertinggal dibandingkan perusahaan besar. Program PSR yang mengalokasikan Rp 6
triliun pada 2025 diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kebun rakyat
hingga 20 persen.
Dari sisi sosial, ketimpangan lahan kerap memicu konflik.
Forest Watch Indonesia mencatat 30 persen sengketa tanah di Kalimantan
melibatkan petani adat berhadapan dengan perusahaan. Banyak petani tidak
memiliki sertifikat hak milik yang kuat, sehingga mudah tergusur ketika izin
konsesi diberikan. Meski demikian, meningkatnya pangsa rakyat juga membawa
dampak positif. Studi menunjukkan, daerah sawit dengan kepemilikan rakyat lebih
tinggi mengalami penurunan angka kemiskinan pedesaan hingga 15 persen.
Lingkungan menjadi tantangan paling rumit. Perusahaan sering
dituding sebagai penyebab utama deforestasi. Namun, petani mandiri juga
menghadapi tudingan serupa, terutama ketika mereka membuka lahan dengan cara
membakar. Perbedaan utamanya, perusahaan memiliki modal untuk beralih ke
teknologi ramah lingkungan, sementara petani kecil tidak.
Di sinilah sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO atau ISPO
menjadi penting. Pada 2024, sekitar 41 persen smallholders di Indonesia sudah
tersertifikasi. Sertifikasi ini bukan hanya soal citra, tetapi juga akses
pasar. Uni Eropa dengan regulasi EUDR yang berlaku 2025 akan menuntut
verifikasi ketat terhadap rantai pasok sawit. Jika pemerintah mampu mendukung
petani kecil dalam proses sertifikasi, mereka justru bisa mendapat keuntungan
dari regulasi tersebut.
Ke depan, jalan menuju industri sawit yang lebih adil dan
berkelanjutan bergantung pada reformasi kebijakan. Redistribusi lahan, akses
modal yang lebih luas, dan dukungan teknologi hijau mutlak dibutuhkan. Tanpa
itu, ketimpangan akan terus melebar, meski angka kepemilikan rakyat perlahan
meningkat.
Angka 40–42 persen bukan hanya statistik dingin. Ia
adalah cermin: sejauh mana negara benar-benar berpihak pada petani kecil, atau
membiarkan dominasi terus berada di tangan segelintir korporasi.
Penulis adalah periset dan petani kecil sawit mandiri.
Post a Comment
Thank you for your comment