| Sawit di Panggung Global: primadona di antara minyak nabati lainnya. Dokpri. |
Oleh Masri Sareb Putra, M.A.
Sawit bukan sekadar minyak nabati. Sawit adalah denyut
ekonomi, sumber devisa, sekaligus bahan baku yang menembus dapur rumah tangga
hingga pabrik biodiesel di berbagai belahan dunia. Dari Indonesia hingga India,
dari Malaysia sampai Eropa, sawit menjadi komoditas yang tak tergantikan.
Namun, panggung yang selama ini digenggam sawit mulai
berguncang. Tahun 2023/24, produksi sawit global tidak tumbuh secepat biasanya.
Padahal, permintaan dunia justru semakin menggeliat. Ketika konsumsi minyak dan
lemak diperkirakan meningkat 9 juta ton, produksi sawit hanya mampu
menambahkan sedikit volume.
Inilah paradoks yang membuat banyak pihak resah. Pasar masih
menggantungkan harapan pada sawit, tetapi kenyataannya sawit belum mampu
menjawab sepenuhnya.
Perlambatan Produksi
Data terbaru menunjukkan, total produksi minyak nabati dan
lemak dunia musim ini diperkirakan mencapai 259,8 juta ton, naik 5,8
juta ton atau 2,3%. Jika dibandingkan dengan musim sebelumnya yang tumbuh 9
juta ton atau 3,7%, terlihat jelas bahwa laju produksi sedang menurun.
Sumber utama perlambatan itu adalah sawit. Panen sawit di
Indonesia dan Malaysia, dua raksasa penghasil dunia, terhambat oleh berbagai
faktor:
- Cuaca
yang tidak menentu membuat produktivitas kebun menurun.
- Lahan
semakin terbatas, sementara ekspansi baru kian sulit karena isu
lingkungan.
- Tenaga
kerja juga menjadi tantangan, terutama di Malaysia yang mengandalkan
pekerja migran.
Akibatnya, tambahan produksi sawit hanya tipis. Ketika bunga
matahari dan lobak juga menurun pada periode April hingga September 2024, beban
semakin berat. Hanya kedelai yang melonjak tajam dan menjadi penopang.
Tetapi, peran kedelai berbeda. Pasar dunia masih melihat
sawit sebagai pilihan utama, baik karena efisiensi produksi maupun
fleksibilitas penggunaannya. Itulah sebabnya, meskipun kedelai sedang melimpah,
keterbatasan sawit tetap memberi tekanan pada pasar.
Sawit Dikejar Permintaan
Di saat produksi sawit melambat, konsumsi justru berlari.
Permintaan minyak nabati global diperkirakan tumbuh 3–4% musim ini.
Dua negara dengan pasar raksasa, India dan China,
tetap menjadi penggerak utama. India mengandalkan sawit untuk kebutuhan
sehari-hari karena harganya relatif lebih terjangkau dibandingkan minyak lain.
Sementara itu, China mengimpor sawit untuk memenuhi permintaan industri makanan
hingga kebutuhan energi.
Di Eropa, sawit menjadi bahan penting dalam campuran
biodiesel, meski kerap diperdebatkan karena isu keberlanjutan. Di dalam negeri
Indonesia, permintaan juga kian besar. Program mandatori biodiesel B35
membuat konsumsi sawit domestik melonjak, dan ada rencana untuk naik ke B40.
Jika ditotal, kebutuhan sawit di pasar global tumbuh lebih
cepat daripada tambahan produksinya. Itulah yang melahirkan ketidakseimbangan.
Stok yang tersedia terpaksa dipangkas untuk menutup selisih, sementara harga
bergerak naik.
Sawit berada di tengah pusaran: sawit dibutuhkan banyak
orang, tetapi sulit dikejar dari sisi produksi.
Tantangan dan Harapan
Melambatnya pertumbuhan produksi sawit bukan sekadar soal
angka. Sawit menjadi alarm dini bagi pasar global. Ada tiga tantangan besar
yang harus dihadapi.
Pertama, produktivitas kebun. Banyak perkebunan sawit
di Indonesia sudah berusia tua. Replanting atau peremajaan mutlak diperlukan.
Namun, proses ini tidak sederhana. Membutuhkan modal besar, waktu panjang,
serta dukungan kebijakan.
Kedua, isu lingkungan. Sawit kerap disorot karena
dianggap berkontribusi terhadap deforestasi. Ekspansi lahan baru dibatasi,
sementara tekanan dari negara-negara konsumen makin keras. Indonesia dan
Malaysia harus membuktikan bahwa sawit bisa berkelanjutan, dengan praktik ramah
lingkungan, sertifikasi yang kredibel, dan keterlacakan produk.
Ketiga, ketergantungan global. Ketika dunia terlalu
mengandalkan sawit, guncangan kecil di produksi bisa memicu gejolak besar.
Karena itu, diversifikasi sumber minyak nabati menjadi kebutuhan. Namun, bagi
negara produsen utama, ini juga peluang. Selama sawit tetap dibutuhkan, posisi tawar
mereka akan tetap tinggi.
Di sisi lain, ada harapan. Permintaan yang terus meningkat
menjamin pasar sawit tidak akan sepi. Bahkan, jika harga naik, konsumen masih
akan memilih sawit karena keunggulan biaya produksinya dibandingkan minyak
nabati lain.
Tantangan kini adalah bagaimana menjaga keseimbangan.
Produksi sawit harus diperkuat tanpa mengorbankan lingkungan, konsumsi sawit
harus diarahkan agar tidak membebani stok, dan harga harus dikelola agar tetap
wajar.
Sejarah pasar sawit menunjukkan bahwa industri ini selalu
mampu beradaptasi. Dari sekadar komoditas ekspor mentah, sawit kini telah masuk
ke rantai pasok global yang kompleks: mulai dari pangan, kosmetik, hingga
energi. Perlambatan produksi sawit kali ini bisa menjadi momentum untuk
mendorong transformasi lebih jauh, dari sekadar volume ke arah kualitas,
keberlanjutan, dan inovasi.
Sawit tetaplah “raja” minyak nabati dunia. Pertanyaannya kini, apakah sawit bisa mempertahankan tahtanya di tengah tekanan produksi yang melambat, konsumsi yang berlari, dan isu keberlanjutan yang terus menggema?
Penulis meneliti dan menerbitkan sejumlah buku sawit, pengamat, dan seorang pelaku, tinggal di Batavia.
Post a Comment
Thank you for your comment