Sawit Indonesia, antara Berkah Ekonomi dan Beban Lingkungan

Sawit Indonesia, antara Berkah Ekonomi dan Beban Lingkungan
Hanya komoditas sawit yang terbukti bisa membuat petaninya makmur dan berkelanjutran. Dok. penulis.

Oleh Masri Sareb Putra, M.A.

Minyak kelapa sawit sudah begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari. Dari gorengan kaki lima di pinggir jalan, margarin pada roti tawar, hingga krim di produk kecantikan, jejak sawit selalu hadir. Bagi Indonesia, sawit bukan hanya komoditas, melainkan bagian dari denyut ekonomi nasional.

 

World Atlas mencatat, pada 2016 Indonesia menghasilkan 36 juta metrik ton minyak sawit, dengan lebih dari 25 juta ton di antaranya diekspor. India, Tiongkok, dan Eropa menjadi pasar utama. Konsumsi per kapita dunia pada 2015 bahkan diperkirakan mencapai 17 pon per orang.

 

Namun, angka-angka itu sering kali terasa jauh dari keseharian. Gambaran nyatanya bisa kita temukan di lintasan Jalan Internasional Tebedu–Pontianak. Hampir setiap hari, truk-truk sarat tandan buah segar (TBS) dan tangki berisi crude palm oil (CPO) hilir mudik. Jalan ini seolah tak pernah beristirahat, menjadi saksi betapa sawit benar-benar menggerakkan ekonomi Borneo.

 

Dilema Hutan Tropis

Luas lahan sawit di Indonesia terus bertambah. Pada 2020, diperkirakan sudah mencapai 12 juta hektare. Pertanyaannya: darimana lahan itu berasal?

 

Organisasi PBB sejak 2007 mengingatkan bahwa ekspansi sawit kerap menekan hutan primer. Penanaman terjadi di 37 dari 41 taman nasional. Dampaknya bukan kecil: hilangnya habitat orangutan dan harimau, menyusutnya keanekaragaman hayati, hingga meningkatnya emisi karbon.

 

Namun, di balik sisi kelam itu, ada wajah lain yang tak boleh diabaikan. Desa-desa di pedalaman baru bisa membangun jalan, sekolah, bahkan balai kesehatan dari hasil sawit. Di beberapa kampung perbatasan, orang bercerita bagaimana uang dari panen TBS pertama kali dipakai untuk membeli sepeda motor atau menyekolahkan anak ke kota. Paradoks ini—pembangunan versus deforestasi—menjadi dilema besar Indonesia.

 

Eropa Menutup Pintu

Tahun 2017, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi melarang penggunaan sawit sebagai biofuel. Kebijakan itu diperkuat dengan Renewable Energy Directive II (RED II), yang menggolongkan sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap deforestasi.

 

Artinya, target energi terbarukan 10% di sektor transportasi tak lagi memberi ruang bagi sawit. Sebagai gantinya, Eropa memilih kedelai atau rapeseed. Indonesia dan Malaysia merespons keras. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, menyebut larangan sawit sebagai bentuk “penjajahan baru” oleh benua biru.

 

Kebijakan itu memang terasa diskriminatif. Di Pontianak, sopir truk yang saban hari membawa CPO ke pelabuhan bercerita bahwa harga jual bisa turun hanya karena kabar dari Eropa. “Kalau Eropa tutup, kita bingung juga mau bawa ke mana minyak ini,” kata seorang sopir sembari menyalakan rokoknya di tepi jalan. Cerita kecil semacam ini menunjukkan bagaimana keputusan jauh di Brussels bisa langsung bergetar hingga ke tepi Sungai Kapuas.

 

 

Menimbang Jalan Tengah

Indonesia tidak bisa menolak kenyataan bahwa sawit menjadi sumber nafkah jutaan orang sekaligus sumber kritik dunia. Jalan tengahnya barangkali ada pada satu kata: sustainability.

 

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mendorong praktik perkebunan berkelanjutan: mulai dari tata kelola lahan, perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi, hingga jaminan hak petani. Tetapi implementasinya tidak selalu mulus. Petani kecil kerap terkendala akses modal, bibit bermutu, dan informasi soal sertifikasi.

 

Di beberapa tempat, koperasi petani mencoba menjembatani. Mereka mengumpulkan hasil panen, mengatur tata tanam, hingga mengajarkan praktik ramah lingkungan. Hasilnya memang belum masif, tetapi menjadi contoh bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah.

 

Moratorium izin sawit baru yang pernah diberlakukan pemerintah bisa menjadi kesempatan menata ulang sektor ini. Transparansi data lahan, perlindungan hutan tersisa, dan pemberdayaan petani harus berjalan beriringan.


Thank you for your comment

Post a Comment

Thank you for your comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post