Lahan sawit mandiri di Riau jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Kalbar. Dokpri.
Oleh Rangkaya Bada
Di Riau, pagi dimulai dengan suara mesin chainsaw
jauh di dalam kebun dan derit sepeda motor tua yang memikul tandan buah sawit.
Di tepi jalan lintas, truk-truk kecil mengantre, mengangkut Tandan Buah Segar
(TBS) menuju pabrik kelapa sawit.
Bagi orang yang hanya melintas, lanskap ini tampak
monoton: barisan batang sawit setinggi belasan meter, seolah tanpa ujung. Namun
di balik hamparan itu, ada cerita tentang siapa yang menguasai tanah, siapa
yang bekerja di ladang, dan siapa yang menentukan harga.
Riau bukan hanya provinsi penghasil sawit terbesar di
Indonesia, ia juga rumah bagi jutaan petani kecil yang menggantungkan hidup
pada komoditas ini. Data BPS 2023 mencatat, luas perkebunan rakyat di Riau
mencapai 2.288.586 hektare. Angka itu lebih dari separuh total luas sawit di
provinsi ini, menegaskan bahwa sawit bukan hanya milik perusahaan besar, tapi
juga milik rakyat.
Di Kalimantan Barat, suasananya berbeda. Sawit rakyat tidak
sebesar di Riau, tetapi tetap signifikan. BPS Provinsi Kalbar 2024 menunjukkan
bahwa luas perkebunan rakyat di provinsi ini sekitar 666,7 ribu hektare. Meski
angkanya lebih kecil, posisi sawit bagi petani Kalbar sama pentingnya: ia bukan
sekadar tanaman industri, tetapi penyangga ekonomi keluarga, penyedia biaya
sekolah anak, dan tabungan masa depan.
Angka yang tidak selalu seragam
Kalau kita menengok pemberitaan, angka-angka luas sawit
sering berbeda. Misalnya, ANTARA 2022 menulis bahwa sawit swadaya di Kalbar
mencapai 534.767 hektare. Sedangkan laporan analisis lain menyebut total areal
sawit Riau sekitar 2,87 sampai 3,4 juta hektare, dengan porsi perkebunan rakyat
lebih dari 60 persen.
Mengapa berbeda? Pertama, soal definisi. BPS mengategorikan
“perkebunan rakyat”, sementara media sering memakai istilah “sawit swadaya”
atau “plasma”. Tidak semua “perkebunan rakyat” adalah swadaya; ada yang terikat
kemitraan dengan perusahaan. Kedua, soal tahun pencatatan. Data BPS diperbarui
setiap tahun, angka media bisa jadi merujuk laporan lama atau estimasi
pemerintah daerah. Ketiga, ada perbedaan teknis penghitungan: apakah memasukkan
tanaman belum menghasilkan, atau hanya yang sudah panen.
Perbedaan itu penting dicatat. Sebab angka bukan hanya bahan
statistik, ia juga dasar kebijakan, dasar perdebatan tentang keadilan lahan,
hingga dasar klaim legitimasi bagi perusahaan maupun komunitas petani.
Kehidupan di balik hektare
Angka dua juta hektare di Riau atau enam ratus ribu hektare
di Kalbar mudah ditulis, tapi sukar dibayangkan. Bagaimana rupa kehidupan di
balik angka-angka itu?
Mari kita dengar kisah dari seorang petani imajiner di
Kampar, Riau. Namanya Pak Sulaiman, 48 tahun. Ia mewarisi kebun dua hektare
dari ayahnya. Setiap panen, ia menjual TBS ke pengepul di desa. Harga sering
berubah: pernah jatuh di bawah Rp 1.200 per kilo, pernah pula menyentuh Rp
3.000. Ketika harga naik, ia bisa memperbaiki rumah dan menyekolahkan anak
bungsu ke SMA. Tapi saat harga jatuh, ia harus menunda peremajaan kebun yang
mulai tua.
Di Kalbar, ada Ibu Lidia Muncong di Sanggau. Ia punya kebun
satu hektare hasil gotong royong koperasi desa. Bagi Lidia, sawit bukan
hanya uang tunai, tetapi juga “jaminan” untuk pinjaman koperasi. Ia menyebut
sawit sebagai “tabungan yang bisa dipanen tiap dua minggu.” Namun ia juga
sadar, sawit tidak selalu ramah: biaya pupuk tinggi, tenaga kerja makin mahal,
dan ada tekanan dari aktivis lingkungan yang mengkritik deforestasi.
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa sawit rakyat bukan
entitas abstrak. Ia adalah denyut kehidupan keluarga, komunitas, dan ekonomi
desa.
Antara peluang dan kerentanan
Sawit rakyat di Riau memberi kontribusi besar terhadap
ekonomi lokal. Ribuan usaha kecil, dari pengepul, bengkel motor, toko pupuk,
hingga warung makan, hidup karena aktivitas petani. Namun ketergantungan ini
juga rapuh. Fluktuasi harga internasional CPO langsung terasa di kantong
petani.
Di Kalbar, tantangan utamanya adalah produktivitas. Banyak
kebun rakyat ditanam dengan bibit asal-asalan, tanpa dukungan teknis memadai.
Akibatnya, hasil panen per hektare lebih rendah dibanding perusahaan besar.
Pemerintah merespons dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR): memberi
dukungan agar petani bisa mengganti tanaman tua dengan bibit unggul. Tapi
implementasi PSR tidak mudah, syarat administrasi rumit, data lahan sering
bermasalah, dan akses ke lembaga keuangan tidak selalu lancar.
Selain itu, ada persoalan lingkungan dan tata ruang. Riau
pernah dikritik karena deforestasi, kebakaran lahan, dan kabut asap. Kalbar
menghadapi isu serupa, ditambah konflik lahan antara petani sawit, perusahaan,
dan masyarakat adat. Di titik ini, angka hektare tidak lagi netral; ia berkait
dengan pertanyaan: lahan siapa, untuk apa, dan dengan konsekuensi apa bagi
lingkungan?
Politik, kebijakan, dan suara petani
Perkebunan rakyat bukan hanya soal ekonomi mikro; ia juga
punya bobot politik. Di Riau, suara petani sawit menjadi salah satu basis
politik lokal. Kebijakan harga TBS, replanting, dan pajak ekspor selalu menjadi
isu panas. Di Kalbar, koperasi petani sering menjadi mitra pemerintah dalam
program pembangunan, tetapi juga bisa menjadi oposisi jika kebijakan dianggap
merugikan.
Bagi petani, yang terpenting adalah kepastian harga dan akses
peremajaan. Tanpa itu, dua juta hektare di Riau dan enam ratus ribu hektare di
Kalbar bisa berubah dari aset menjadi beban: kebun tua yang tidak produktif,
hutang pupuk yang menumpuk, dan generasi muda yang enggan melanjutkan usaha
tani.
Namun di sisi lain, sawit rakyat juga membuka peluang.
Dengan penguatan kelembagaan koperasi, sertifikasi berkelanjutan (ISPO/RSPO),
dan inovasi pembiayaan, sawit rakyat bisa menjadi motor pembangunan desa. Ada
contoh koperasi di Riau yang berhasil mengekspor minyak goreng langsung ke luar
negeri, memotong mata rantai panjang distribusi. Di Kalbar, beberapa kelompok
tani berhasil mengakses skema perdagangan karbon karena menjaga hutan di
sekitar kebun.
Membaca angka dengan mata warga
Pada akhirnya, angka luas sawit rakyat di Riau (2,29 juta ha)
dan Kalbar (666 ribu ha) hanyalah pintu masuk. Yang lebih penting adalah
membaca angka dengan mata warga: melihat bahwa di baliknya ada keluarga, kerja
keras, dan mimpi yang sederhana, menyekolahkan anak, memperbaiki rumah, atau
sekadar punya tabungan saat sakit.
Gaya Kompas Minggu sering mengingatkan kita: data harus dipadukan dengan narasi. Statistik memberi peta, tetapi cerita memberi arah. Jika hanya membaca angka, kita mungkin melihat sawit sebagai soal produksi minyak nabati semata. Tapi ketika mendengar suara petani, kita tahu sawit rakyat adalah denyut kehidupan sehari-hari di desa-desa Riau dan Kalimantan Barat.
Mungkin kelak, saat kebijakan dan program lebih berpihak,
petani sawit tidak lagi hanya disebut “penghasil TBS”, tetapi juga sebagai
subjek pembangunan: warga yang menguasai lahannya, berdaya dalam pasar global,
dan tetap menjaga hutan sebagai warisan.
Post a Comment
Thank you for your comment