Lahan Sawah dan Ladang untuk Sawit: Transformasi di Kalimantan

 

Lahan Sawah dan Ladang untuk Sawit: Transformasi di Kalimantan
Lahan sawah dan ladang menjadi Sawit  di Kalimantan: sebuah proses transformasi. Dok. SS.

Oleh Rangkaya Bada

Kalimantan, pulau terbesar kedua di Indonesia, telah menjadi pusat ekspansi industri kelapa sawit sejak akhir abad ke-20. Booming komoditas ini tidak hanya mengubah lanskap alam, tetapi juga pola ekonomi masyarakat.

 

Di tengah perdebatan global tentang deforestasi, konversi lahan sawah dan ladang tradisional menjadi perkebunan sawit di wilayah ini telah membawa manfaat nyata bagi ribuan keluarga petani dan pekerja. Namun, proses ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan. 


Berdasarkan data resmi, luas perkebunan sawit di Kalimantan mencapai jutaan hektare, dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) yang menyumbang signifikan terhadap PDB nasional. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana masyarakat Kalimantan turut merasakan dampak positif dari ledakan industri ini, sambil tetap memperhatikan aspek faktual dari transformasi lahan.

 

Perluasan Perkebunan Sawit di Kalimantan

Industri kelapa sawit di Kalimantan mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 2000-an, didorong oleh permintaan global akan minyak nabati. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, luas areal kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare pada 2023, dengan Kalimantan menyumbang sekitar 40 persen dari total tersebut. Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi provinsi dengan produksi CPO terbesar kedua nasional, mencapai 8,3 juta ton pada 2022, sementara Kalimantan Timur (Kaltim) menghasilkan sekitar 3,8 juta ton CPO dari 17,7 juta ton tandan buah segar (TBS) pada 2020. Pertumbuhan ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang mendorong investasi, termasuk program plasma yang melibatkan petani kecil.

 

Konversi lahan dimulai secara masif pada 1999-2004, dengan rata-rata 400.000 hektare hutan per tahun berubah menjadi perkebunan sawit. Di Kaltim, ratusan ribu hektare hutan dilepas untuk konsesi sawit dan tambang, mencapai 612.355 hektare pada 2023. Hal ini tidak hanya meningkatkan produksi—dari 8,6 ribu ton di Kalteng pada 2021 menjadi lebih tinggi pada 2025—tetapi juga membuka akses infrastruktur ke daerah terpencil. Masyarakat lokal, yang sebelumnya bergantung pada pertanian subsisten, kini terintegrasi dalam rantai pasok global. DPRD Kaltim menyebut sawit sebagai peluang besar untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah, dengan pengelolaan berkelanjutan sebagai kunci.

 

Booming ini juga didukung oleh data ekspor. Pada 2023, Indonesia mengekspor minyak sawit senilai miliaran dolar, dengan Kalimantan sebagai kontributor utama. Di Kalimantan Barat (Kalbar), produksi perkebunan rakyat terus meningkat, mencerminkan partisipasi masyarakat dalam sektor ini. Secara keseluruhan, ekspansi sawit telah mengubah Kalimantan dari wilayah hutan primer menjadi pusat agroindustri, dengan manfaat yang dirasakan secara luas.

 

Konversi Lahan Sawah dan Ladang Tradisional

Konversi lahan sawah dan ladang menjadi perkebunan sawit sering kali menjadi pilihan masyarakat di Kalimantan karena potensi pendapatan yang lebih tinggi. Di Kalteng, proyek food estate seperti di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau awalnya ditargetkan untuk 130.000 hektare sawah, tetapi sebagian beralih ke sawit karena adaptasi dengan kondisi tanah gambut. Meski pemerintah membantah perubahan total, areal sawit di sekitar lokasi food estate telah berkembang, menggantikan ladang tradisional masyarakat adat.

 

Di Kaltim, konversi hutan tanaman industri (HTI) dan lahan pertanian mencapai skala besar, termasuk untuk sawit. Masyarakat Dayak, yang biasa berladang berpindah, kini beralih ke sawit karena tekanan ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan ini mengubah sistem nafkah masyarakat, dari subsisten ke komersial. Di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), perkebunan sawit telah menghidupkan UMKM lokal, dengan lahan yang dulunya sawah kini menghasilkan TBS untuk pabrik.

 

Proses konversi ini tidak selalu mulus. Di Papua, yang mirip dengan Kalimantan, konversi lahan tani menimbulkan dampak negatif pada ketahanan pangan, tetapi di Kalimantan, banyak petani melihatnya sebagai peluang. Data BPS menunjukkan bahwa produktivitas sawit lebih tinggi daripada padi tradisional di tanah gambut, mendorong petani untuk beralih. Namun, ini juga mengubah pola budaya, di mana ladang berpindah digantikan oleh monokultur sawit.

 

Manfaat Ekonomi bagi Masyarakat Lokal

Booming sawit telah membawa manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat Kalimantan. Di Kaltim, perkebunan sawit menjadi penggerak ekonomi hijau berbasis kerakyatan, dengan manfaat nyata bagi daerah dan masyarakat. Ribuan masyarakat keluar dari kemiskinan sejak 2000, berkat keterlibatan sebagai pekerja, pengusaha jasa, atau pemasok. Di Kutai Timur, kehadiran sawit meningkatkan kesejahteraan hampir seluruh warga di 18 kecamatan.

 

Manfaat ini meliputi peningkatan pendapatan rumah tangga. Petani plasma di Kobar merasakan dampak positif pada perekonomian mikro, termasuk peluang usaha sampingan. Sawit juga mendukung sektor lain, seperti produksi minyak goreng, sabun, dan biodiesel, yang menciptakan lapangan kerja. Investor semakin tertarik, dengan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan masyarakat.

 

Di tingkat masyarakat adat, sawit memberikan alternatif nafkah. Meski ada kehilangan hutan, banyak yang melihatnya sebagai cara meningkatkan taraf hidup. Postingan di X menyoroti bagaimana sawit mengubah daerah terpencil menjadi kota, dengan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

 

Tantangan dan Upaya Berkelanjutan

Meski banyak manfaat, konversi lahan sawit menimbulkan tantangan bagi masyarakat adat. Di Kalteng, larangan berladang di gambut membuat warga beralih menjadi buruh sawit, kehilangan mata pencaharian tradisional. Konflik lahan sering terjadi, seperti di Pasir Mayang, di mana masyarakat adat merasakan kerusakan lingkungan. Penelitian menunjukkan perubahan institusi adat, dengan masyarakat lebih pragmatis.

 

Untuk mengatasi ini, upaya seperti resolusi konflik dan pengakuan hak adat dilakukan. Pemerintah mendorong sawit berkelanjutan, termasuk sertifikasi RSPO, untuk memastikan manfaat tanpa mengorbankan lingkungan. Di Kaltim, fokus pada ekonomi hijau diharapkan menyeimbangkan pertumbuhan dan pelestarian.


Secara keseluruhan, booming sawit di Kalimantan telah mentransformasi lahan sawah dan ladang menjadi sumber kesejahteraan. Dengan pengelolaan yang bijak, manfaat ini dapat bagi generasi mendatang. Namun, dialog antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat tetap krusial untuk menghindari dampak negatif.

Thank you for your comment

Post a Comment

Thank you for your comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post