| Cornelis Desak Moratorium Izin Sawit untuk Korporasi Besar. Ist |
Di tengah laju deforestasi yang semakin mengkhawatirkan di
Pulau Borneo, Dr. (H.C.) Drs. Cornelis, M.H., anggota DPR RI dari Fraksi PDI
Perjuangan Daerah Pemilihan Kalimantan Barat I, menyerukan tindakan tegas
pemerintah.
Gubernur Kalimantan Barat periode 2008-2018 ini menekankan
bahwa kerusakan hutan telah mencapai titik kritis, dengan perusahaan perkebunan
sawit sebagai pelaku utama. Investigasi Kompas mengungkap data terkini yang
mendukung pernyataan Cornelis, termasuk konflik berkepanjangan antara korporasi
dan masyarakat adat Dayak, serta desakan moratorium yang kian relevan di tengah
bencana ekologis nasional.
Cornelis, yang lahir di Sanggau pada 27 Juli 1953 dan kini menjabat di Komisi XII serta Badan Anggaran DPR RI, berbicara berdasarkan pengalaman panjangnya membela hak-hak masyarakat Kalimantan Barat. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus segera menghentikan atau memberlakukan moratorium terhadap izin baru bagi perusahaan sawit besar, sambil membiarkan petani mandiri beroperasi karena skalanya kecil. “Perusahaan itu stop-lah. Petani mandiri silakan, sebab skalanya kecil,” tegasnya.
Titik Kritis Deforestasi di Kalimantan Barat
Deforestasi di Borneo, khususnya Kalimantan Barat, telah menjadi bom waktu ekologis. Berdasarkan data terkini dari Global Forest Watch dan laporan pemerintah, sepanjang 2024 saja, Kalimantan kehilangan 129.896 hektare hutan, dengan Kalimantan Barat menyumbang 39.598 hektare; menempati posisi kedua terparah setelah Kalimantan Timur.
Pada 2025, tren ini berlanjut: dalam empat
minggu terakhir, terdeteksi 640.184 peringatan deforestasi yang memengaruhi
7.900 hektare di provinsi ini. Lebih dari separuh deforestasi nasional tahun
lalu terjadi di konsesi sawit, seperti kasus PT Borneo International Anugerah
yang membabat 2.019 hektare.
Hasil riset dan investigasi menemukan bahwa ekspansi sawit tidak hanya menggerus hutan tropis, tapi juga memperburuk krisis iklim lokal. Hutan Kalimantan, yang dikenal sebagai "penyimpan air" Pulau Borneo, kini menyusut drastis, meningkatkan risiko banjir, kebakaran, dan krisis pangan.
Masyarakat lokal, termasuk suku Dayak, menanggung dampak terberat:
hilangnya sumber air bersih, degradasi tanah, dan peningkatan emisi karbon yang
memperparah perubahan iklim. Cornelis menyebut situasi ini sebagai "titik
kritis," di mana kerusakan lingkungan tak lagi bisa ditolerir tanpa
intervensi mendalam.
Kritik terhadap Perusahaan Sawit: Ingkar Janji dan Dampaknya
Cornelis menyoroti bagaimana perusahaan sawit besar sering
ingkar janji, tidak memenuhi kewajiban sosial kepada masyarakat sekitar.
“Mereka ingkar janji,
tak memberikan apa yang sudah dijanjikan kepada rakyat,” ujarnya. Temuan
investigasi Kompas mengonfirmasi hal ini melalui kasus-kasus nyata di
Kalimantan Barat. Misalnya, PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS), anak
perusahaan Sime Darby, telah merampas tanah adat Dayak Hibun sejak 1995,
mengubah status tanah masyarakat menjadi hak guna usaha tanpa kompensasi layak.
Konflik ini berujung pada kriminalisasi warga yang menuntut hak plasma 20
persen, seperti di PT Mayawana Persada di Ketapang, di mana dua warga Dayak
Kualan dipolisikan karena menuntut sanksi adat.
Di Bengkayang, masyarakat Dayak Iban berjuang 19 tahun
melawan konglomerasi sawit yang menghancurkan sumber penghidupan tradisional
mereka, dari pertanian hingga hutan adat. Laporan Human Rights Watch tahun 2019
mencatat ribuan masyarakat adat kehilangan segalanya akibat perkebunan sawit,
termasuk akses ke tanah warisan yang kini jadi monokultur sawit. Dampaknya
luas: kemiskinan meningkat, konflik sosial meletus, dan ekosistem rusak
permanen. Di PT Karya Makmur Abadi, warga Tumbang Sapiri menuntut plasma yang
diabaikan, menunjukkan pola ingkar janji yang sistematis. Cornelis menekankan
bahwa skala kerusakan ini ditanggung warga, sementara korporasi meraup untung.
Seruan Moratorium: Hentikan Izin Baru untuk Korporasi
Menanggapi krisis ini, Cornelis mendesak moratorium izin
baru bagi perusahaan sawit besar. Pernyataan ini selaras dengan desakan terkini
dari PDI Perjuangan, yang meminta pemerintah menghentikan alih fungsi hutan
jadi sawit imbas bencana ekologis di Sumatera. Meski Instruksi Presiden Nomor 8
Tahun 2018 pernah memberlakukan moratorium sawit selama empat tahun, pemerintah
kini justru membuka 600 ribu hektare lahan baru pada 2025 untuk genjot
produksi, meski menuai kritik lingkungan.
Investigasi Kompas menemukan bahwa tanpa moratorium, deforestasi akan terus melonjak. Laporan Celios 2025 menyoroti kerugian ekonomi Rp 2,2 triliun akibat banjir di Sumatera, dan menyarankan moratorium sawit-tambang sebagai solusi.
Di Kalimantan, ekspansi sawit seperti di cagar
biosfer Kalbar oleh First Borneo Group diam-diam membabat hutan, mengancam
keanekaragaman hayati. Cornelis membedakan antara korporasi besar dan petani
kecil, menegaskan bahwa batasan hanya untuk yang pertama agar lindungi hutan
dan masyarakat.
Pesan untuk Masyarakat Dayak: Jaga Tanah Leluhur
Cornelis menekankan kewajiban moral masyarakat lokal,
khususnya Dayak, untuk menjaga tanah warisan leluhur. “Tanam, tanam, tanam, dan
pelihara tanahmu! Jika tidak, akan ada yang ambil alih,” pesannya keras. Ini
mencerminkan perjuangan panjang Dayak melawan perampasan tanah, seperti di Long
Isun yang mempertahankan hutan dari penebangan skala besar.
Masyarakat adat Dayak, yang bergantung pada hutan untuk jasa lingkungan, sering menjadi korban utama deforestasi sawit. Kasus di Bulungan dan Noyan menunjukkan warga protes ingkar janji perusahaan, bahkan dengan aksi bakar ban sebagai bentuk frustrasi.
Izin lama jalan, izin baru stop!
Cornelis, sebagai putra daerah, mengajak
kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan aktivis untuk reforestasi dan
perlindungan adat, sebelum Borneo kehilangan warisannya selamanya.
Pewarta: Rangkaya Bada
Post a Comment
Thank you for your comment