Petani Plasma Kalbar Terjebak Skema Sawit Perusahaan yang Tak Adil

Petani Plasma Kalbar Terjebak Skema Sawit yang Tak Adil
Petani Plasma Kalbar Terjebak Skema Sawit yang Tak Adil.

Oleh Apen Panlelugen

Pengalaman puluhan desa di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa menyerahkan tanah kepada perusahaan sawit justru membuat petani kehilangan kendali, terjerat utang, dan kehilangan posisi tawar. Karena itu, mengelola tanah sendiri, baik secara mandiri maupun melalui koperasi lokal yang transparan, terbukti lebih menjamin pendapatan serta menjaga kedaulatan lahan komunitas.


Di banyak desa pedalaman Kalimantan Barat, skema inti-plasma dulu dipromosikan sebagai jalan menuju kesejahteraan. Tanah adat akan dikelola secara profesional oleh perusahaan. Petani dijanjikan dua kavling plasma, pembagian hasil yang transparan, serta pendapatan stabil setiap bulan.


Namun, yang terjadi di lapangan justru berbanding terbalik. Sejumlah petani plasma kini hanya menerima sekitar Rp400.000 per bulan dari dua kavling kebun sawit yang sudah menghasilkan. 


Pendapatan yang sedikit itu bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, apalagi menebus utang mereka pada perusahaan yang kini mencapai lebih dari Rp60 juta per kepala keluarga.




Ironinya, tanah yang menjadi sumber identitas dan nafkah telah berpindah tangan, tetapi kesejahteraan tak kunjung datang.


Modus Inti–Plasma yang Dipelintir

Berdasarkan rangkaian wawancara dan temuan lapangan, pola penipuan atau manipulasi skema inti-plasma umumnya terjadi melalui:


1. Pengalihan Tanah dengan Janji Tinggi

Perusahaan meminta petani menyerahkan tanah  sering kali tanpa pemahaman penuh mengenai konsekuensinya  dengan janji bahwa 20 persen dari total kebun akan dikembalikan sebagai kebun plasma milik warga. Namun, setelah kebun produktif, angka itu sering “direvisi secara sepihak.”


2. Struktur Utang yang Tidak Transparan

Petani diberi tahu bahwa biaya pembukaan lahan, pemeliharaan, pupuk, bibit, dan panen akan dipotong dari hasil plasma. Dalam praktiknya, biaya tersebut membengkak tidak masuk akal.
Akibatnya, utang petani justru terus bertambah, bukan berkurang. Ada petani yang mengaku tidak pernah menerima rincian keuangan yang lengkap.


3. Panen yang Tidak Pernah Terbuka

Petani plasma tidak diizinkan mengetahui:

1.    brondolan yang keluar dari kebun

2.    rendemen atau kualitas TBS

3.    taksasi (estimasi panen)

4.    harga jual sesungguhnya ke pabrik


Perusahaan menahan seluruh informasi ini. Ketertutupan inilah yang membuat pendapatan petani “diset” sedemikian rendah.


Dua Kavling, Rp400 Ribu, dan Rasa Tertipu

Normalnya, dua kavling sawit berumur produktif harus dapat memberikan pendapatan minimal Rp2,5–4 juta per bulan, bahkan lebih. Namun petani yang diwawancarai di beberapa kecamatan hanya menerima Rp350.000–450.000.


Tanah kami sudah hilang. Dapat uang pun seperti uang kasihan, bukan hasil kebun sendiri,” ujar seorang petani di Kalimantan Barat.

Bagi mereka, kebun plasma bukan lagi berkah, 

melainkan beban. Tiap bulan, petani menerima pemberitahuan singkat: pendapatan kecil, sementara utang ke perusahaan tetap tinggi. Tidak ada ruang bagi petani untuk protes karena data dan akuntansi sepenuhnya dikuasai pihak perusahaan.


Utang Rp60 Juta: Jerat yang Membelenggu

Mayoritas petani plasma kini menanggung utang sekitar Rp55–65 juta, jumlah yang mustahil mereka lunasi karena cashflow bulanan sangat minim. Padahal:

1.    tanah sudah dilepas,

2.    usaha lain hampir tidak ada,

3.    kebun tidak bisa dikelola sendiri.


Dalam beberapa kasus, petani bahkan tidak lagi merasa memiliki tanah tersebut. Mereka hanya menunggu transfer dari perusahaan, sambil menanggung beban utang tanpa kepastian kapan berakhir.


Narasi ini bukan kasus tunggal. Banyak komunitas Dayak dan petani lokal di Kalbar, Kalteng, dan Kaltim melaporkan pola serupa sejak beberapa tahun terakhir.


Ketika Petani Melawan, Aparat Hadir untuk Menekan

Satu pola lain yang berulang adalah kehadiran aparat negara ketika petani berusaha memprotes perusahaan. Alih-alih menjadi penengah, aparat sering kali hadir sebagai kekuatan penekan.


Di Bika, Kapuas Hulu, masyarakat telak menyebut dan berteriak, "Mereka bukan aparat negara, tetapi aparat perusahaan."




Ada laporan warga yang dipanggil ke kantor polisi hanya karena mempertanyakan hasil kebun. Ada pula kasus warga diintimidasi ketika menolak penyerahan tanah lanjutan.


Bagi petani, negara tampak lebih memilih berdiri di sisi perusahaan ketimbang rakyatnya sendiri.


Ke mana lagi petani mengadu kehilangan sebutir padi, jika kepada yang diadukannya adalah ayam? Tak ada elang. Rakyat akar rumput di Kalbar, dan petani plasma lainnya, harus mengadu ke mahkamah internasional hak AZASI MANUSIA.


Mengapa Petani Terus Dirugikan?


1. Ketimpangan Informasi

Perusahaan memegang seluruh data teknis dan finansial. Petani tidak punya akses pada perhitungan panen, harga TBS, atau arus uang, sedemikian rupa sehingga posisi tawar mereka nol.


2. Hilangnya Tanah sebagai Kekuatan Utama

Di banyak komunitas Dayak, tanah bukan sekadar aset ekonomi tetapi penanda identitas. Ketika tanah dilepas, mereka kehilangan:

1.    ruang produksi,

2.    ruang budaya,

3.    ruang politik untuk menentukan masa depan.


3. Regulasi Lemah dan Penegakan Hukum Bias

Walaupun pemerintah memiliki aturan bagi kebun plasma 20 persen, pengawasan hampir tidak berjalan. Ketika terjadi konflik, perusahaan kerap menghadirkan aparat sebagai alat legitimasi kekuasaan.


4. Perangkap Utang yang Sistematis

Struktur utang perusahaan dirancang sedemikian rupa sehingga petani selalu “minus” dalam laporan bulanan, sekalipun kebun sebenarnya menghasilkan. Inilah mekanisme debt bondage modern yang membuat petani terus terikat dan miskin, tanpa pernah bisa keluar dari skema yang menjebak mereka.


Pelajaran Pahit: Jangan Lagi Lepas Tanah ke Perusahaan

Berkaca dari pengalaman puluhan desa di Kalimantan Barat, satu kesimpulan menguat: petani lokal sebaiknya tidak perlu lagi berbagi tanah dengan perusahaan sawit.

Janji manis plasma sering kali berakhir:

1.    tanah hilang tanpa kendali,

2.    penghasilan tidak sebanding,

3.    utang menumpuk,

4.    posisi tawar hancur,

5.    keberadaan aparat justru menekan, bukan melindungi.


Lebih baik petani mengelola tanah sendiri dalam skala kecil maupun koperasi lokal yang transparan. Di banyak daerah, model mandiri ini terbu

kti memberikan pendapatan lebih pasti dan menjaga kedaulatan lahan komunitas.


Suara dari Ladang yang Gersang

Skema plasma seharusnya memberikan masa depan untuk petani, tetapi yang terjadi adalah eksploitasi yang disamarkan sebagai kemitraan. Suara para petani yang hanya menerima Rp400.000 per bulan dari tanah mereka sendiri adalah suara dari ketidakadilan struktural yang perlu diungkap terus menerus.


Selama tanah masih dianggap sekadar komoditas dan bukan identitas, selama aparat lebih melindungi perusahaan ketimbang rakyat, dan selama aturan tidak ditegakkan, maka kisah tragis petani plasma seperti ini akan berulang.


Dan ini menjadi peringatan keras bagi desa-desa lain di seluruh Kalimantan: jangan lagi menyerahkan tanah kepada perusahaan yang telah terbukti tidak berpihak pada rakyat setempat.


Thank you for your comment

Post a Comment

Thank you for your comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post