Sawit harus juga dinikmati masyarakat setempat, jangan dampak buruknya saja. Ist.
Perdebatan mengenai sawit di Kalimantan kerap dipenuhi dua suara keras. Di satu sisi ada kritik tentang hilangnya hutan, kriminalisasi lahan masyarakat, dan konflik agraria yang tidak kunjung selesai.
Di sisi lain terdapat narasi pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dari industri minyak nabati terbesar negeri ini. Namun jarang ada yang melihat satu fakta penting. Petani mandiri ternyata bukan sekadar penonton. Mereka memegang porsi yang terus membesar dalam peta kepemilikan lahan sawit.
Pada level nasional, perkebunan rakyat menyumbang kisaran empat puluh persen dari total areal sawit Indonesia menurut berbagai statistik resmi. Sementara perusahaan swasta besar memegang sebagian besar sisanya. Di Kalimantan proporsinya berbeda antarprovinsi, tetapi kecenderungan umumnya serupa. Perkebunan rakyat, baik yang benar benar mandiri maupun yang menjadi bagian skema plasma, terus bertambah luas dari tahun ke tahun.
Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah misalnya, data dinas perkebunan beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang stabil pada areal yang tercatat sebagai kebun rakyat. Banyak desa yang awalnya hanya memiliki sedikit lahan sawit kini berubah menjadi kantong produksi baru. Perkembangan ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan sawit tidak lagi seragam. Bukan hanya perusahaan yang mencengkeram lahan. Petani lokal pun ikut memiliki bagian nyata dalam lanskap komoditas ini.
Kenyataan ini penting karena selama dua dekade terakhir sawit sering digambarkan sebagai mesin besar yang hanya menguntungkan pemodal besar. Padahal di banyak wilayah pedalaman, masyarakat lokal justru mulai melihat sawit sebagai cara baru untuk mengamankan masa depan keluarga mereka. Tidak semua berhasil tentu saja, tetapi banyak yang perlahan naik kelas ekonomi berkat dua atau tiga hektare kebun yang mereka rawat sendiri.
Saat Booming Sawit Menyentuh Kantong Petani Mandiri
Ketika harga tandan buah segar melonjak beberapa tahun lalu, efeknya sangat terasa hingga ke kampung kampung. Dalam banyak kunjungan lapangan ke wilayah sawit di Kalimantan, satu cerita berulang hampir selalu terdengar. Petani kecil yang dulunya hanya mengandalkan karet atau ladang padi kini mendapatkan pendapatan rutin dari panen sawit. Mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada musim. Panen datang setiap dua minggu. Uang mengalir dalam pola yang lebih teratur.
Petani mandiri menikmati keuntungan ini karena dua hal penting. Pertama, jaringan jalan di pedalaman Kalimantan kini jauh lebih baik dibanding dua dekade lalu. Truk pengangkut dapat menjangkau desa desa yang dulu terisolasi. Kedua, pabrik pengolahan minyak sawit semakin banyak, sehingga jarak tempuh dari kebun ke pabrik menjadi lebih pendek. Biaya angkut turun. Harga jual lebih stabil. Petani kecil kini memiliki akses pasar yang jauh lebih layak.
Selain itu banyak petani mandiri yang belajar langsung dari pola budidaya perusahaan. Mereka meniru pemupukan, cara merawat batang, hingga memilih bibit unggul. Dengan kombinasi pengalaman lapangan dan jaringan antarpetani, produktivitas kebun rakyat meningkat terutama pada generasi kedua yang sudah lebih memahami teknik budidaya. Beberapa koperasi bahkan berhasil melakukan replanting mandiri meski menghadapi proses panjang dan biaya tinggi.
Fenomena ini menimbulkan perubahan sosial yang menarik. Di sejumlah kawasan, sawit menjadi sumber ekonomi baru yang menghidupi usaha warung, bengkel, hingga ojek desa. Sawit menciptakan rantai ekonomi lokal yang tidak selalu terlihat dalam statistik. Rumah tangga yang dulu rentan kini memiliki tabungan kecil dan bisa menyekolahkan anak lebih tinggi. Petani yang dulu dianggap lemah telah menjadi bagian dari mesin pendapatan yang penting bagi wilayah mereka.
Ketimpangan yang Tetap Ada dan Risiko yang Mengintai
Meski begitu tidak berarti semua petani mandiri otomatis sejahtera. Ada jurang perbedaan yang jelas antara manfaat ekonomi yang diterima perusahaan besar dan yang diperoleh petani kecil. Perusahaan memiliki akses modal, riset genetika, alat berat, dan kemampuan pengelolaan risiko yang tidak dimiliki petani. Produktivitas per hektare perusahaan rata rata lebih tinggi. Konsistensi kualitas panen juga lebih terjaga.
Sementara petani mandiri menghadapi beberapa masalah besar yang sering terabaikan. Akses pupuk masih menjadi tantangan utama. Banyak yang membeli pupuk eceran dengan harga tinggi dan kualitas tidak selalu terjamin. Selain itu petani mandiri rentan terhadap fluktuasi harga. Ketika harga turun drastis, mereka tidak punya cadangan modal untuk mempertahankan kebun. Ada pula petani yang menebang hutan atau membuka lahan secara tidak teratur karena tidak memahami tata batas yang sah. Mereka bisa terjebak konflik dengan negara tanpa sengaja.
Kesenjangan informasi juga menjadi faktor penting. Tidak semua petani mengetahui cara memilih benih berkualitas atau memahami perhitungan replanting. Banyak kebun rakyat saat ini sudah memasuki usia tua dengan produktivitas yang menurun. Tanpa peremajaan, keuntungan yang dulu diperoleh perlahan menyusut. Peremajaan membutuhkan biaya besar, dan akses terhadap kredit formal masih sulit bagi sebagian besar petani.
Ditambah lagi, ada daerah di mana petani hanya menikmati keuntungan jangka pendek karena mereka menjual lahan kepada spekulan setelah harga tanah naik. Hasil penjualan ini sering habis dalam waktu singkat. Setelah itu mereka kembali menjadi buruh di kebun yang dulunya milik mereka sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa booming sawit tidak otomatis memberi kesejahteraan berkelanjutan bagi seluruh petani kecil.
Masa Depan Sawit: Ketika Petani Menjadi Aktor Utama
Jika ingin masa depan sawit yang lebih adil dan berkelanjutan, posisi petani mandiri harus ditata dengan lebih serius. Pertama, pendataan lahan rakyat harus diperjelas. Selama ini banyak kebun rakyat yang tidak terdaftar secara resmi sehingga sulit mendapatkan akses program peremajaan. Kedua, pemerintah perlu mengembangkan skema pembiayaan yang mudah diakses agar petani bisa melakukan replanting tanpa harus menjual lahannya.
Ketiga, model kemitraan perusahaan dan petani perlu diperbaiki agar tidak melahirkan ketergantungan ekstrem. Kemitraan ideal bukan hanya memandatkan pembelian hasil, tetapi juga pelatihan, transfer teknologi, pemupukan terencana, dan dukungan manajemen kebun yang memadai. Keempat, tata kelola lahan harus diperkuat melalui pemetaan yang terbuka. Hal ini akan mengurangi konflik dan memastikan bahwa perluasan sawit tidak lagi merambah kawasan hutan bernilai tinggi.
Pada sisi yang lebih filosofis, masa depan sawit di Kalimantan akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana petani kecil melihat dirinya sendiri. Apakah mereka sekadar pemasok buah bagi pabrik ataukah mereka pelaku utama yang memiliki posisi tawar? Bila petani mampu mengelola kebun secara produktif dan berkelanjutan, maka masa depan ekonomi sawit tidak lagi didominasi perusahaan besar saja. Kalimantan akan memiliki kelas petani baru yang mandiri, terampil, dan sejahtera.
Post a Comment
Thank you for your comment