| Sawit yang berpihak pada rakyat: perjuangan, tidak diberikan. Dok. Eremespe. |
Oleh Rangkaya Bada
Kelapa sawit telah lama disebut tulang punggung ekonomi nasional, tetapi bagi banyak warga desa, ia justru hadir sebagai sumber kehilangan tanah dan ketidakadilan. Di titik inilah negara diuji: terus memihak oligarki, atau berani menata ulang sawit agar benar-benar berpihak pada rakyat.
Petani sawit mandiri berbeda dengan petani plasma yang terikat pada perusahaan. Selain terikat, juga kerap tidak menerima sebagaimana yang semula dijanjikan.
Petani sawit mengelola kebun sendiri, biasanya dalam skala kecil, satu hingga tiga hektare, dan menggantungkan hidup sepenuhnya pada hasil panen. Dalam banyak kasus, sawit bukan pilihan ideal, melainkan jalan bertahan setelah ladang tradisional dan hutan semakin menyempit.
Petani Sawit Mandiri, Penopang yang Terpinggirkan
Di balik angka produksi kelapa sawit nasional yang terus dibanggakan, ada jutaan petani sawit mandiri yang bekerja dalam senyap. Mereka menanam, merawat, dan memanen sawit dengan sumber daya terbatas, sering kali tanpa perlindungan hukum yang memadai dan tanpa akses pasar yang adil. Namun justru merekalah yang menjadi penopang nyata industri sawit di tingkat akar rumput.
Meskipun kontribusi mereka besar, posisi petani mandiri tetap lemah. Mereka tidak memiliki akses langsung ke pabrik pengolahan, bergantung pada tengkulak, dan menerima harga yang ditentukan sepihak. Ketika harga turun, merekalah yang pertama menanggung dampaknya. Ketika standar keberlanjutan global diperketat, merekalah yang paling tertinggal.
Dari berbagai perjumpaan di lapangan, saya melihat bahwa petani mandiri sesungguhnya tidak menolak praktik sawit berkelanjutan. Mereka justru paling berkepentingan menjaga tanah dan air, karena hidup mereka menyatu dengan kebun itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah sistem yang tidak memberi mereka ruang. Biaya sertifikasi mahal, pendampingan minim, dan kebijakan lebih ramah terhadap perusahaan besar.
Dalam situasi seperti ini, petani sawit mandiri menjadi penopang sunyi: menopang produksi nasional, tetapi terpinggirkan dalam kebijakan. Jika kondisi ini dibiarkan, sawit akan terus tumbuh sebagai komoditas besar, tetapi rapuh secara sosial.
Menata Ulang Arah Kebijakan Sawit Indonesia
Sudah saatnya kebijakan sawit Indonesia ditata ulang secara mendasar. Persoalan utama bukan lagi soal perluasan lahan, melainkan soal keadilan dalam pengelolaan. Indonesia tidak kekurangan kebun sawit, tetapi kekurangan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Langkah pertama yang mendesak adalah menghentikan izin sawit baru bagi perusahaan skala besar. Ekspansi yang terus-menerus justru memperbesar konflik agraria dan tekanan lingkungan. Fokus kebijakan seharusnya dialihkan pada peningkatan produktivitas kebun yang sudah ada, terutama milik petani sawit mandiri.
Langkah kedua adalah mempercepat legalitas lahan petani kecil. Tanpa kepastian hukum, petani akan selalu berada dalam posisi rentan terhadap klaim sepihak dan pencaplokan. Pengakuan tanah adat, sertifikasi lahan rakyat, dan penyelesaian konflik agraria harus menjadi prioritas negara, bukan agenda pinggiran.
Langkah ketiga adalah membuka akses nyata bagi petani mandiri terhadap modal, teknologi, dan pasar. Kredit lunak, pendampingan teknis, serta jalur pemasaran yang adil bukanlah bentuk pemanjaan, melainkan investasi jangka panjang bagi stabilitas sosial dan ekonomi desa.
Selain itu, standar keberlanjutan perlu dirancang lebih inklusif. Sertifikasi tidak boleh menjadi pagar tinggi yang hanya bisa dilompati perusahaan besar. Negara harus hadir sebagai pendamping, bukan sekadar pengawas.
Menata ulang kebijakan sawit berarti berani mengoreksi arah lama yang terlalu lama berpihak pada kekuatan modal. Tanpa keberanian itu, sawit akan terus menjadi sumber konflik dan ketimpangan.
Sawit yang Berpihak pada Rakyat
Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya sederhana: untuk siapa sawit dikembangkan? Jika sawit hanya menguntungkan segelintir pemodal, sementara rakyat kehilangan tanah dan masa depan, maka ada yang keliru dalam arah pembangunan kita.
Sawit yang berpihak pada rakyat bukan slogan, melainkan pilihan kebijakan. Ia menempatkan petani sawit mandiri sebagai subjek, bukan objek. Ia mengakui bahwa keberlanjutan sejati tidak lahir dari ekspansi tanpa batas, melainkan dari hubungan yang adil antara manusia, tanah, dan negara.
Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa petani kecil mampu mengelola sawit secara lebih manusiawi dan bertanggung jawab, jika diberi ruang dan dukungan. Di sanalah masa depan sawit Indonesia seharusnya diletakkan: bukan pada oligarki, melainkan pada rakyat yang merawat tanahnya sendiri.
Post a Comment
Thank you for your comment