| Bedanya sawit dan pohon hutan. |
Oleh Apen Panlelugen
KDM dalam sebuah unggahan video menyatakan bahwa sawit adalah tanaman manja yang harus terus dipelihara. Sementara itu, pohon dibiarkan tumbuh apa adanya, dan hutan dengan sendirinya akan memberi kehidupan.
Kata-kata KDM bukan sekadar retorika, tetapi selaras dengan temuan ilmu ekologi, hidrologi, dan agronomi tropis.
Intensi dan Ekstensi antara Sawit dan Pohon
Di titik inilah logika Aristoteles membantu menjelaskan perbedaan mendasar antara kelapa sawit dan pohon hutan melalui konsep ta Kategoria, khususnya mengenai relasi antara isi (intensi) dan keluasan (ekstensi). Sebuah kategori tidak hanya ditentukan oleh namanya, tetapi oleh kekayaan sifat yang dikandungnya serta jangkauan relasi yang dibentuknya di dalam realitas.
Kelapa sawit, sebagai tanaman monokultur, memiliki isi yang sempit dan ekstensi yang terbatas. Secara morfologis, strukturnya relatif sederhana, didominasi oleh batang tunggal dan pelepah yang tersusun seragam. Keseragaman ini mencerminkan cara sawit diperlakukan dalam sistem produksi, yaitu sebagai unit ekonomi yang distandarkan, diulang, dan diisolasi dari keragaman hayati di sekitarnya.
Sebaliknya, pohon dalam hutan hadir sebagai entitas dengan isi yang kaya dan ekstensi yang luas. Ia memiliki ranting, cabang, dan daun yang membentuk struktur berlapis dan kompleks. Kompleksitas ini bukan sekadar bentuk fisik, melainkan juga ekspresi dari relasi ekologis yang luas, mulai dari interaksi dengan tanah, air, mikroorganisme, hingga makhluk hidup lain yang bergantung padanya.
Dalam pengertian Aristotelian, pohon hutan tidak hanya “ada”, tetapi hadir sebagai kategori yang penuh makna karena keluasan sifat dan fungsi yang dikandungnya.
Dengan demikian, perbedaan antara sawit dan pohon hutan tidak cukup dijelaskan melalui jenis tanaman semata. Perbedaan itu terletak pada kedalaman isi dan keluasan ekstensi yang dimiliki masing-masing. Sawit merepresentasikan kesederhanaan yang dipaksakan oleh logika produksi, sementara pohon hutan mewakili kompleksitas alami yang menopang kehidupan.
Dengan kata sederhana: pohon hutan ada, being in se (ada dengan sendirinya), sejak semula. Sedangkan pohon sawit diadakan sebagai hutan.
Dan memang sawit tak ada ranting, cabang, dan dahannya. Pernyataan KDM bahwa kelapa sawit merupakan tanaman yang manja, memerlukan pemupukan intensif, dan cenderung mengisap air dalam jumlah besar, sementara pohon justru memberi pupuk melalui proses alami, menyimpan air, dan tetap hidup subur tanpa banyak campur tangan manusia, tidak dapat dipandang sekadar sebagai ungkapan retoris.
Pandangan KDM tersebut memiliki dasar yang kuat dalam temuan ilmu ekologi, hidrologi, dan agronomi tropis, yang secara konsisten menunjukkan perbedaan mendasar antara sistem perkebunan monokultur dan ekosistem hutan alami.
Dalam kerangka ini, persoalan utama tidak terletak pada kelapa sawit sebagai tanaman semata, melainkan pada cara dan konteks keberadaannya di bentang alam.
Masalah muncul ketika sawit menggantikan hutan yang memiliki fungsi ekologis kompleks, ketika ia dikembangkan dalam skala monokultur yang masif, serta ketika logika ekonomi produksi jangka pendek menyingkirkan pertimbangan keberlanjutan ekologis. Pada titik inilah sawit berhenti menjadi sekadar komoditas pertanian dan berubah menjadi faktor struktural yang memengaruhi keseimbangan lingkungan secara luas.
Kelapa Sawit sebagai Tanaman Intensif dan Bergantung Input
Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang dikembangkan melalui sistem budidaya intensif dan terkontrol. Produktivitasnya sangat bergantung pada campur tangan manusia, terutama melalui pemupukan kimia yang dilakukan secara berkala. Tanpa pasokan unsur hara tambahan seperti nitrogen, fosfor, dan kalium, kelapa sawit tidak mampu mempertahankan tingkat produksi yang diharapkan secara ekonomi.
Ketergantungan ini menunjukkan bahwa kelapa sawit tidak membangun siklus hara alami yang mandiri. Tanaman ini cenderung menyerap unsur hara dari tanah tanpa mekanisme pengembalian yang memadai. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut menyebabkan penurunan kesuburan tanah, terutama apabila pengelolaan lahan tidak disertai upaya konservasi yang memadai.
Konsumsi Air Tinggi dan Dampak Hidrologis Perkebunan Sawit
Kelapa sawit memiliki kebutuhan air yang relatif tinggi sepanjang siklus hidupnya. Sistem perakaran yang dominan di lapisan tanah atas serta laju transpirasi yang tinggi menyebabkan tanaman ini menyerap air tanah dalam jumlah besar. Pada skala perkebunan luas, kondisi tersebut berkontribusi terhadap penurunan muka air tanah dan perubahan pola aliran air permukaan.
Wilayah yang didominasi perkebunan sawit kerap mengalami dua kondisi ekstrem sekaligus, yaitu banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini terjadi karena tanah kehilangan kemampuan alaminya untuk menyerap dan menyimpan air secara bertahap. Dengan demikian, kelapa sawit lebih berperan sebagai konsumen air daripada sebagai pengatur tata air lingkungan.
Pohon Hutan dan Siklus Alami Kesuburan Tanah
Berbeda dengan kelapa sawit, pohon-pohon hutan membangun dan memelihara kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Daun gugur, ranting lapuk, dan sisa biomassa lainnya terurai menjadi bahan organik yang berfungsi sebagai kompos alami. Proses ini memperkaya tanah dengan unsur hara serta mendukung kehidupan mikroorganisme yang menjaga struktur dan kesehatan tanah.
Melalui siklus tersebut, pohon tidak hanya memanfaatkan tanah sebagai media tumbuh, tetapi juga berkontribusi aktif dalam memperbaiki kualitasnya. Tanah hutan yang kaya bahan organik mampu mempertahankan kesuburan dalam jangka panjang tanpa ketergantungan pada pupuk buatan. Inilah ciri utama ekosistem yang bekerja secara mandiri dan berkelanjutan.
Pohon sebagai Penyimpan Air dan Penyangga Ekosistem
Pohon hutan memiliki peran penting dalam mengatur tata air lingkungan. Akar yang dalam dan menyebar memungkinkan air hujan diserap secara perlahan dan disimpan di dalam tanah. Kanopi yang berlapis juga berfungsi mengurangi daya jatuh air hujan langsung ke permukaan tanah, sehingga mencegah erosi dan limpasan berlebihan.
Kemampuan pohon untuk menyimpan dan melepaskan air secara bertahap menjadikan hutan sebagai penyangga alami bagi keseimbangan ekosistem. Sungai tetap mengalir pada musim kemarau, sementara risiko banjir dapat ditekan pada musim hujan.
Dalam konteks ini, pohon tidak memerlukan perlakuan intensif untuk tetap hidup subur, karena ia tumbuh selaras dengan sistem alam yang menopangnya.
Post a Comment
Thank you for your comment